Bagian
1
Yang
Tersembunyi di Balik Nama
Mengartikan
kata-kata yang sulit dipahami dan menjelaskan Tokoh-Tokoh yang terdapat di
dalamnya.
1. Adiluhung : Tinggi mutunya; Seni yang
bernilai
2. Repetisi : latihan
3. Ditengarai : Diduga
4. Ilusif : Bersifat
memperdayakan atau menipu.
5. Pengukuhan : Proses, Cara, Perbuatan,
Penetapan, Pengesahan.
6. Dalih :Alasan yang di
cari-cari
7. Mencomot : Mengambil seutuhnya.
8. Kutus : Penghormatan resmi
dalam agama,upacara keagamaan,ibadat; . kepercayaan.
9. Laiknya : Selayaknya.
10. Mitologi : Sesuai dengan atau
bersifat mitologi.
11. Periferal : Tidak mengenai
pokoknya; kurang penting;.
12. Simtom-simtom :Perubahan.
13. Naga-naganya :keadaan yang menjadi gelagat atau
alamt baik atau buruk..
14. Gulden : Mata uang
(Belanda)
15. Pesakitan : Terdakwa.
16. Leerar : Guru atau Dosen
17. Linear : Bentuk garis,
bersifat seperti garis.
18. Membabar : Membentang, mengembang
19. Fragmen : Cuplikan atau petikan (
sebuah cerita , lakon), bagian atau
pecahan sesuatu.
20. Madah : Kata-kata pujian.
21. Begidik
: Ngeri, geli
22. Dogma : Pokok
ajaran( tentang kepercayaan ) yang harus di terima sebagai hal yang benar dan baik , tidak boleh
di bantah dan diragukan; keyakinan tertentu.
23. Indoktrinasi :pemberian ajaran secara
mendalam(tanpa kritik)atau penggembangan mengenai suatu paham atau
doktrin tertentu dengan melihat kebenaran dari arah tertentu
saja.
24. Perbawa : Daya yang terpancar dari
sifat luhur; keluhuran; penggaruh yang memancar dari dalam diri.
25. Melegitimmasi : Menjadikan sah, Memgesahkan.
Berikut
tokoh-tokoh yang berada didalamnya :
Multatuli
Nama aslinya adalah Eduard Douwes Dekker, namun ia
dikenal dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin “Aku sudah banyak
menderita”). Lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820. Ia adalah penulis
Belanda yang terkenal dengan Max Havelar (1860), novel satirisnya yang berisi
kritik atas perlakuan buruk pada penjajah terhadap orang-orang pribumidi Hindia
Belanda. Multatuli bercita-cita menjadi pengarang. Ketika kembali dari Hindia
Belanda, ia membawa berbagai manuskrip di antaranya sebuah tulisan naskah
sandiwara dan salinan surat-surat ketika ia menjabat sebagai asisten residen di
Lebak.
Tahun 1875, terbit kembali dengan teks hasil
revisinya dan namanya sebagai pengarang telah mendapatkan pengakuan. Antara
tahun 1862 dan 1877, Eduard menerbitkan Ideën (Gagasan-gagasan) yang isinya
berupa kumpulan uraian pendapat-pendapatnya mengenai politik, etika dan
filsafat, karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Sandiwara yang
ditulisnya, di antaranya Vorstenschool (Sekolah para Raja), dipentaskan dengan
sukses.
Pada akhir hayatnya, dia tinggal di Jerman bersama
seorang anak Jerman yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Eduard
Douwes Dekker tinggal di Wiesbaden, Jerman, di mana, ia mencoba untuk menulis naskah drama. Salah
satu dramanya, Vorstenschool (diterbitkan di 1875 dalam volume Ideën keempat)
menyatakan sikapnya yang tidak berpegang pada satu aliran politik, masyarakat
atau agama. Selama dua belas tahun akhir hidupnya, Eduard tidaklah mengarang
melainkan hanya menulis berbagai surat-surat. Eduard Douwes Dekker kemudian
pindah ke Ingelheim am Rhein dekat Sungai Rhein sampai akhirnya meninggal 19
Februari 1887.
Umar
Junus
Umar
Junus lahir pada 2 Mei 1934 di Silungkang, Sumatera Barat, ia adalah seorang
kritikus sastra Indonesia. Tahun 1953, ia mulai menulis esei dan kritik dan
Umar Junus sendiri sudah banyak menulis dalam bahasa Melayu. Ia juga pernah
menulis karya ilmiah dalam bahasa Inggris. Buku-bukunya termasuk karya ilmiah
dalam Perkembangan Puisi Melayu Moden, Sosiologi Sastera, Persoalan Teori dan
Metodologi. Dan juga Antologi eseinya dalam catatan Si Maling kundang. Ia
menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama di Silungkang dan sekolah
menengah atas di Bukittinggi, meraih ijazah sarjana sastra dari Universitas
Indonesia, Jakarta pada tahun 1959 kemudian mengajar di IKIP Malang sampai
1967, menjadi pengajar bahasa Indonesia di Yale University, Amerika Serikat.
Tahun 1967 hijarah ke Malaysia dan diterima menjadi dosen (pensyarah) di
Universitas Malaya sambil meneruskan studinya. Ijazah Doktor Falsafah diraihnya
dari Universitas Malaya pada tahun 1982 dengan disertasi “Sosiologi Sastera:
Persoalan Teori dan Metode di sekitar Sastera Melayu dan Indonesia” yang
kemudian diterbitkan (1986). Beberapa tahun kemudian ia dianugerahi gelar
professor Madya oleh Universiti Malaya. Kalangan akademisi, kritikus, dan
praktisi sastra Indonesia dan Malaysia amat mengenal kepakaran Umar Junus.
Telaah dan ulasannya mengenai sastra Indonesia dan Malaysia wujud dalam bentuk
buku, artikel ilmiah dan esai sastra. Bersama HB Jassin, ia dikenal seorang
kritikus sastra Indonesia yang sangat produktif.
Tak kurang dari 60 judul buku (terbit di Indonesia
dan Malaysia) sudah ditulis oleh Umar Junus, yang meliputi teori
strukturalisme, sosiologi sastra, resepsi sastra, stilistika, dan semiotik. Ini
dapat dikesan dari judul-judul karyanya, seperti Resepsi Sastra: Sebuah
Pengantar (1985), Sosiologi Sastera: Persoalan Teori dan Metode (1986), Karya
sebagai Sumber Makna: Pengantar Strukturalisme (1988), dan Stilistik:
Pendekatan dan Penerapan (1990), untuk sekedar menyebut contoh. Pikirannya
mengalir deras bagai air sarasah, dan hampir tak henti-hentinya. Bahkan di masa
pensiun ia tetap produktif menulis artikel. Buku-bukunya menjadi bacaan
mahasiswa yang dapat membimbing mereka untuk memperoleh pengetahuan dasar
mengenai ilmu sastra. Pada 8 Maret 2010, Subagio meninggal di Kuala Lumpur,
Malaysia di usia 75 tahun.
Merari
Siregar
Merari
Siregar adalah seorang sastrawan yang mula-mula menulis novelnya, Azab dan
Sengsara dengan corak baru untuk ukuran zamannya ketika hikayat masih dominan.
Lahir di Sipirok, Sumatera Utara, 13 Juli 1896. Ia bersekolah di Kweekschool,
yaitu sekolah guru di zaman Belanda, sekolah guru Oost en West 'Timur dan
Barat' di Gunung Sahari, Jakarta. Tahun 1923 ia mendapat ijazah dari
Handelscrorrespondent Bond A di Jakarta. Mula-mula ia bekerja sebagai guru
bantu di Medan dan setelah pindah ke Jakarta, ia bekerja di Rumah Sakit CBZ
(sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Novel Azab dan Sengsara berbicara
tentang kesengsaraan seorang gadis akibat kawin paksa. Merari Siregar sendiri
menyatakan bahwa ia mengarang cerita ini bermaksud menunjukkan adat dan
kebiasaan yang kurang baik dan kurang sempurna di tengah-tengah bangsanya,
lebih-lebih di antara orang berlaki-laki. Selanjutnya ia juga menyatakan bahwa
hal-hal dan kejaian yang tersebut dalam buku tersebut, meskipun seakan-akan tiada
mungkin dalam pikiran pembaca adalah benar belaka, hanya waktunya iatur dibuat
berturut-turut supaya cerita itu lebih nyata dan terang. Selain sebagai
pengarang novel,
Merari Siregar juga seorang penyadur yang baik.
Cerita sadurannya sangat hidup sehingga pembaca tidak merasakan cerita itu
sebagai saduran dari luar negeri. Pembaca seolah-olah membaca cerita Indonesia
asli, seperti dalam cerita sadurannya Si Jamin dan Si Johan. Karya Merari
Siregar hanya berbentuk novel baik karya asli maupun saduran, yakni (1) Si
Jamin dan Si Johan diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1918, saduran dari Jan
Smees karya Justus van Maurik (Merari Siregar pernah mendapat hadiah dalam
sayembara mengarang atas cerita Si Jamin dan Si Johan), (2) Azab dan Sengsara
diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1920 di Jakarta, (3) Tjerita tentang Busuk
dan Wanginya Kota Betawi diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1924, (4) Binasa
karena Gadis Priangan diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1931, dan (5) Tjinta
dan Hawa Nafsu diterbitkan oleh Balai Pustaka. Terakhir dia pindah ke
Kalianget, Madura, tempat ia bekerja di Opium end Zouregie sampai akhir
hayatnya.
Mas
Marco Kartodikromo
Kartodikromo
atau umum dikenal Mas Marco adalah penulis dan jurnalis Indonesia. Lahir di
Blora, Jawa Tengah, Hindia Belanda, pada tahun 1890 dari keluarga priyayi
(bangsawan) berpangkat rendah. Pada usia lima belas tahun, ia mulai bekerja di
Nederlandsch Indische Spoorweg, yaitu perusahaan kereta api nasional Hindia
Belanda, di Semarang. Pada tahun 1911 ia memilih untuk meninggalkan perusahaan
karena ia muak dengan kebijakan rasis, termasuk penggunaan ras sebagai dasar
untuk jumlah upah yang dibayar. Kartodikromo kemudian menuju ke Bandung, Jawa
Barat, di mana ia mendapat pekerjaan di Medan Priyayi, surat kabar yang
dikelola oleh Tirto Adhi Soerjo. Dari Medan Priyayi inilah bekal awal ia
mengasah diri sebagai seorang jurnalis. Ketika media tersebut ditutup oleh
Belandapada tahun 1912 Kartodikromo pergi ke Surakarta. Di sana, ia bergabung
dengan Sarekat Islam, organisasi pedagang Muslim, dan mendapat pekerjaan di
Sarekat Islam yang didukung Saro Tomo. Pada tahun 1914 ia memimpin majalah
Doenia Bergerak. Makalah ini adalah corong dari Grup Wartawan Lokal Indonesia
(Inlandse Journalisten Bond), yang dipimpin Kartodikromodan dalam
pembangunannya dibantu bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Darnakoesoemo. Pada
tahun yang sama, ia menerbitkan tiga volume karya Mata Gelap; hal ini
menyebabkan polemik panjang antara Doenia Bergerak dan pemilik Cina Tjoen Tjioe
di Surabaya karena dirasakan berbau rasisme.
Pada tahun 1918 ia menerbitkan Student Hidjo, yang
menceritakan tentang seorang mahasiswa muda Indonesia yang jatuh cinta selama
belajar di Belanda meski sudah memiliki tunangan di Indonesia. Karya ini,
awalnya diterbitkan sebagai serial, bagian dari novel pada tahun 1919. Juga
pada tahun 1918 ia menerbitkan kumpulan puisi, Sair-Sair Rempah. Pada tahun
1924, Kartodikromo menerbitkan Rasa Merdika (A Sense of Independence), yang
berurusan dengan seorang pemuda yang bertentangan dengan ayah priyayinya, alat
pemerintah kolonial Belanda, dan mencoba untuk menemukan kemerdekaan pribadi.
Novel lain, Cermin Buah Keroyalan, dan drama panggung, Kromo Bergerak,
diterbitkan tidak lama setelah itu. Pada 8 Maret 1932, ia meninggal di
Boven-Digoel, Papua, Hindia Belanda.
Rudolf
Mrazek
Rudolf Mrazek adalah pakar sejarah modern di Asia
Tenggara, khususnya di Indonesia yang lahir di Ceko. Mrazek mulai menelisik
Indonesia pada masa-masa akhir penjajahan Belanda. Berbagai dokumen yang
merekam pemikiran dan pengorbanan sejumlah tokoh telah ia telisik. Mulai dari
Mas Marco Kartodikromo, jurnalis sekaligus penulis modern pertama di Indonesia,
sampai ke Soesilo, intelektual muda yang cemerlang. Mrazek menghasilkan karya
yang sangat kaya dan kompleks hingga mustahil untuk diringkas tanpa memiuh dan
merusaknya. Mrazek menyumbang banyak kajian berharga tentang gerakan pembebasan
sekaligus pergulatan bangsa-bangsa yang ada di Asia Tenggara.
R.M.
Tirto Adhisoerjo
Pria yang memiliki nama kecil Djokomono ini
mengenyam pendidikan di sekolah HBS Belanda dan meneruskan studin sebagai
mahasiswa kedokteran di STOVIA, Batavia. Namun, karena lebih sibuk menulis di
media masa, ia akhirnya tidak menyelesaikan sekolah dokternya. Raden Mas
Djokomono Tirto Adhi Soerjo adalah perintis Pers Nasional Indonesia dan tokoh
kebangkitan Nasional Indonesia. Ia juga dianggap sebagai orang yang paling
berjasa atas bangkitnya pergerakan kaum terdidik di Indonesia. Meskipun lahir
di daerah Blora, Jawa Barat, namun Tirto lebih lama tinggal di wilayah Bandung,
Jawa Barat. sejak usia muda, ia rajin mengirimkan tulisan-tulisannya ke
sejumlah surat kabar dalam bahasa Belanda dan Jawa. Ia juga pernah membantu
Chabar hindia Olanda pimpinan Alex Regensburgh selama dua tahun sebelum pindah
menjadi redaktur Pembrita Betawi, Pimpinan F. Wriggers, yang tak lama kemudian
digantikannya. Di Bandung, Tirto mendirikan 3 surat kabar, yakni Soenda Berita
(1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Poetri Hindia (1908). Karena menggunakan
bahasa Melayu (bahasa Indonesia) dan seluruh proses produksi dan penerbitannya
dikerjakan oleh pribumi asli, Medan Prijaji pun akhirnya dianggap sebagai surat
kabar Nasional yang pertama kali terbit. Medan Prijaji begitu digemari oleh masyarakat
pada waktu itu karena adanya satu rubrik khusus yang menyediakan penyuluhan
hukum gratis.
Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat
kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani
menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa
itu. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke
Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa
pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus
1918. Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta
Toerdalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula. Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya
sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Raden Mas Djokomono
Tirto Adhi Soerjo meninggal pada tanggal 7 Desember 1918. Ironisnya, tak satu
pun surat kabar di Negara ini yang memuat berita kematiannya.
Umar
Kayam
Umar Kayam, sosok yang lahir di Ngawi, 30 April 1932
ini dikenal sebagai seorang sosiolog, cerpenis, budayawan serta guru besar UGM.
Ayahnya yang bernama Sastrosoekoso merupakan seorang guru di Hollands Islands
School (HIS) yang mengharapkan anaknya dapat menjadi seperti sosok Omar Khayam
yang seorang sufi, ahli perbintangan, ahli matematika, serta pujangga. Oleh
karena itu, diberikanlah anaknya nama Umar Kayam. Sejak kecil, Umar telah akrab
dengan dunia membaca. Ia terbiasa dengan bacaan-bacaan dongeng serta pelajaran
yang terkait dengan bahasa Belanda. Karya Umar pertama kali dimuat di majalah
adalah cerpen Bunga Anyelir. Setelah SMA, ia melanjutkan studinya ke Fakultas
Pedagogik Universitas Gadjah Mada (1955), lalu lanjut ke Universitas New York,
Amerika Serikat untuk meraih M.A. (1963). Tak sampai di situ, ia melanjutkan
studinya ke Universitas Cornell, Amerika Serikat untuk meraih gelar Ph.D
(1965).
Umar Kayam tidak hanya menulis karya sastra (cerpen
dan novel), tetapi juga menulis esai, kolom, dan karya ilmiah. Dalam posisinya
sebagai penulis, doktor sosiologi dari Cornell University, Amerika Serikat ini dinilai
oleh sementara pakar tidak sepenuhnya berada di dunia ilmu, tetapi juga tidak
sepenuhnya berada di dunia seni. Dia memadukan keduanya (ilmu dan seni),
sehingga pada beberapa tulisannya sulit dicari garis tegas membedakan
tulisan-tulisannya itu sebagai karya fiksi atau karya ilmiah. Di antara begitu
banyak karya yang telah ia hasilkan, karyanya yang terkenal adalah Bawuk dan
Sri Sumarah. Kemudian, cerpennya yang berjudul Seribu Kunang-kunang di
Manhattan, pernah mendapatkan penghargaan dari majalah Horison. Sementara itu,
novelnya yang berjudul Para Priyayi
mendapat penghargaan dari Yayasan Buku Utama. Umar Kayam meninggal pada
16 Maret 2002 dalam usia 70 tahun setelah terjatuh dan mengalami patah pangkal
tulang paha.
George
Eugene Uhlenbeck
George Eugene Uhlenbeck lahir di Batavia (Jakarta),
6 Desember 1900 adalah seorang fisikawan
Amerika Serikat berdarah Belanda. Ia menjadi profesor di Universitas Michigan
di Ann Arbor, Universitas Utrecht dan Universitas Columbia, New York City. Di
samping sejumlah karya pada fisika atom dan partikel, ia mempostulasikan adanya
spin elektron bersama dengan Samuel Goudsmit. Penemuan penting lain oleh
Uhlenbeck adalah proses Ornstein-Uhlenbeck. Pada tahun 1964, bersama dengan
Goudxsmit ia dianugerahi Medali Max Planck dan pada tahun 1979 ia dianugerahi
Penghargaan Wolf dalam Fisika bersama dengan Giuseppe Occhialini. Uhlenbeck
meninggal di Boulder, Colorado, Amerika Serikat 31 Oktober 1988 pada umur 87
tahun.
Triyanto
Triwikromo
Triyanto
Triwikromo lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 15 September 1964 adalah sastrawan
Indonesia. Redaktur sastra Harian Umum Suara Merdeka dan dosen Penulisan
Kreatif Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, ini kerap mengikuti
pertemuan teater dan sastra, antara lain menjadi pembicara dalam Pertemuan
Teater-teater Indonesia di Yogyakarta (1988) dan Kongres Cerpen Indonesia di
Lampung (2003). Ia juga mengikuti Pertemuan Sastrawan Indonesia di Padang
(1997), Festival Sastra Internasional di Solo, Pesta Prosa Mutakhir di Jakarta
(2003), dan Wordstorm 2005: Nothern Territory Festival di Darwin, Australia.
Cerpennya Anak-anak Mengasah Pisau direspon pelukis Yuswantoro Adi menjadi
lukisan, AS Kurnia menjadi karya trimatra, pemusik Seno menjadi lagu, Sosiawan
Leak menjadi pertujukan teater, dan sutradara Dedi Setiadi menjadi sinetron
(skenario ditulis Triyanto sendiri). Penyair terbaik Indonesia versi Majalah
Gadis (1989) ini juga menerbitkan puisi dan cerpennya di beberapa buku antologi
bersama. Triyanto juga merupakan salah satu tokoh yang memelopori gerakan
Revitalisasi sastra pedalaman, pada dasawarsa 1990-an bersama Sosiawan Leakdan
lain-lainnya. Tahun 1990 beliau dinyatakan sebagai salah seorang penyair
terbaik versi Dirjen Kesenian RI. ''Mata Sunyi Perempuan Takroni'' terpilih
sebagai salah satu cerpen terbaik Kompas 2002.
Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar (artinya: tanah merah) yang
memiliki nama asli Raden Abdul Jalil (ada juga yang menyebutnya Hasan Ali)
(juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemahbang, dan Syekh
Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang
penyebar agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Jepara. Asal usul
serta sebab kematian Syekh Siti Jenar tidak diketahui dengan pasti karena ada
banyak versi yang simpang-siur mengenai dirinya dan akhir hayatnya. Demikian
pula dengan berbagai versi lokasi makam tempat ia disemayamkan untuk terakhir
kalinya. Syekh Siti Jenar dikenal karena ajarannya, yaitu Manunggaling Kawula
Gusti(penjawaan dari wahdatul wujud). Ajaran tersebut membuat dirinya dianggap
sesat oleh sebagian umat Islam, sementara yang lain menganggapnya sebagai
seorang intelek yang telah memperoleh esensi Islam. Ajaran-ajarannya tertuang
dalam karya sastra buatannya sendiri yang disebut Pupuh, yang berisi tentang
budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang
dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh
Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan
syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Seno
Gumira Ajidarma
Seno Gumira Ajidarma seorang cerpenis, esais,
wartawan, dan pekerja teater. Nama samaran yang dimilikinya Mira Sato,
digunakan untuk menulis puisi sampai tahun 1981. Dia lahir di Boston, Amerika
Serikat pada tanggal 19 Juni 1958, tetapi dibesarkan di Yogyakarta. Ayahnya
adalah Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, guru besar Fakultas MIPA Universitas
Gadjah Mada. Ibunya, Poestika Kusuma Sujana, adalah dokter spesialis penyakit
dalam.
Setelah lulus SMP, Seno tidak mau melanjutkan sekolah.
Terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya
pengarang asal Jerman Karl May, dia pun mengembara mencari pengalaman. Seperti
di film-film: ceritanya seru, menyeberang sungai, naik kuda, dengan sepatu
mocasin, sepatu model boot yang ada bulu-bulunya. Selama tiga bulan, ia
mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik
kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, dia meminta uang kepada ibunya. Tapi,
ibunya mengirim tiket untuk pulang. Maka, Seno pulang dan meneruskan sekolah.
Ketika SMA, ia sengaja memilih SMA Kolese De Britto yang boleh tidak pakai
seragam. Komunitas yang dipilih sesuai dengan jiwanya. Bukan teman-teman di
lingkungan elite perumahan dosen Bulaksumur (UGM), rumah orangtuanya. Tapi,
komunitas anak-anak jalanan yang suka tawuran dan ngebut di Malioboro.Dia juga
ikut teater Alam pimpinan Azwar A.N pada tahun 1975 saat usianya 17 tahun.
Karyanya yang pertama berbentuk puisi dimuat dalam rubrik "Puisi
Lugu" dalam majalah Aktuil, asuhan Remy Sylado. Selanjutnya, Seno menulis
cerpen dan esai. Cerpennya yang pertama "Sketsa dalam Satu Hari"
dimuat dalam surat kabar Berita Nasional Tahun 1976. Esainya yang pertama
dimuat dalam harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.
Kariernya di dunia kewartawanan dimulai pada tahun
1977 sebagai pembantu lepas harian Merdeka. Selanjutnya, Seno bekerja di
majalah kampus Cikini dan menjadi pimpinan redaksi Sinema Indonesia (1980), dan
redaktur mingguan Zaman (1983—1984). Seno juga bekerja di majalah Jakarta-Jakarta
(1985—1992).
Pada tahun 2000, ia menyelesaikan studi di Magister
Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia dan lima tahun kemudian ia menyelesaikan
Doktor Ilmu Sastra, Universitas Indonesia.
Pada tahun 2008 ia, bersama Linda Christanty dan
Kris Budiman, didapuk menjadi juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ). Kesibukan Seno sekarang adalah membaca, menulis, memotret, jalan-jalan,
selain bekerja di Pusat Dokumentasi Jakarta-Jakarta. Juga kini ia membuat
komik. Baru saja ia membuat teater. Sekarang Seno menjadi Rektor di Institut
Kesenian Jakarta sejak 2016 dan tetap menjadi dosen di Fakultas Film dan
Televisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar