Rabu, 28 November 2018


Bagian 1
                                                Yang Tersembunyi di Balik Nama
Mengartikan kata-kata yang sulit dipahami dan menjelaskan Tokoh-Tokoh yang terdapat di dalamnya.

1.      Adiluhung                   : Tinggi mutunya; Seni yang bernilai
2.      Repetisi                       :  latihan
3.      Ditengarai                   : Diduga
4.      Ilusif                            : Bersifat memperdayakan  atau menipu.
5.      Pengukuhan                : Proses, Cara, Perbuatan, Penetapan, Pengesahan.
6.      Dalih                           :Alasan yang di cari-cari
7.      Mencomot                   : Mengambil seutuhnya.
8.      Kutus                          : Penghormatan resmi dalam agama,upacara                                                               keagamaan,ibadat; . kepercayaan.
9.      Laiknya                       : Selayaknya.
10.  Mitologi                      : Sesuai dengan atau bersifat mitologi.
11.  Periferal                       : Tidak mengenai pokoknya; kurang penting;.
12.  Simtom-simtom           :Perubahan.
13.  Naga-naganya             :keadaan yang menjadi gelagat atau alamt baik atau buruk..
14.  Gulden                                    : Mata uang (Belanda)
15.  Pesakitan                     : Terdakwa.
16.  Leerar                          : Guru atau Dosen
17.  Linear                          : Bentuk garis, bersifat seperti garis.
18.  Membabar                   : Membentang, mengembang
19.  Fragmen                      : Cuplikan atau petikan ( sebuah cerita , lakon), bagian atau  
                                     pecahan sesuatu.
20.  Madah                         : Kata-kata pujian.
21.  Begidik                       : Ngeri, geli
22.  Dogma                                    : Pokok ajaran( tentang kepercayaan ) yang harus di terima                                         sebagai hal yang benar dan baik , tidak boleh di bantah dan                                     diragukan; keyakinan tertentu.
23.  Indoktrinasi                 :pemberian ajaran secara mendalam(tanpa kritik)atau                                                 penggembangan mengenai suatu paham atau doktrin tertentu                                    dengan melihat kebenaran dari arah tertentu saja.
24.  Perbawa                      : Daya yang terpancar dari sifat luhur; keluhuran; penggaruh                                     yang memancar dari dalam diri.
25.  Melegitimmasi : Menjadikan sah, Memgesahkan.



Berikut tokoh-tokoh yang berada didalamnya :
 Multatuli
Nama aslinya adalah Eduard Douwes Dekker, namun ia dikenal dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin “Aku sudah banyak menderita”). Lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820. Ia adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk pada penjajah terhadap orang-orang pribumidi Hindia Belanda. Multatuli bercita-cita menjadi pengarang. Ketika kembali dari Hindia Belanda, ia membawa berbagai manuskrip di antaranya sebuah tulisan naskah sandiwara dan salinan surat-surat ketika ia menjabat sebagai asisten residen di Lebak.
Tahun 1875, terbit kembali dengan teks hasil revisinya dan namanya sebagai pengarang telah mendapatkan pengakuan. Antara tahun 1862 dan 1877, Eduard menerbitkan Ideën (Gagasan-gagasan) yang isinya berupa kumpulan uraian pendapat-pendapatnya mengenai politik, etika dan filsafat, karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Sandiwara yang ditulisnya, di antaranya Vorstenschool (Sekolah para Raja), dipentaskan dengan sukses.
Pada akhir hayatnya, dia tinggal di Jerman bersama seorang anak Jerman yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Eduard Douwes Dekker tinggal di Wiesbaden, Jerman, di mana,  ia mencoba untuk menulis naskah drama. Salah satu dramanya, Vorstenschool (diterbitkan di 1875 dalam volume Ideën keempat) menyatakan sikapnya yang tidak berpegang pada satu aliran politik, masyarakat atau agama. Selama dua belas tahun akhir hidupnya, Eduard tidaklah mengarang melainkan hanya menulis berbagai surat-surat. Eduard Douwes Dekker kemudian pindah ke Ingelheim am Rhein dekat Sungai Rhein sampai akhirnya meninggal 19 Februari 1887.

Umar Junus
            Umar Junus lahir pada 2 Mei 1934 di Silungkang, Sumatera Barat, ia adalah seorang kritikus sastra Indonesia. Tahun 1953, ia mulai menulis esei dan kritik dan Umar Junus sendiri sudah banyak menulis dalam bahasa Melayu. Ia juga pernah menulis karya ilmiah dalam bahasa Inggris. Buku-bukunya termasuk karya ilmiah dalam Perkembangan Puisi Melayu Moden, Sosiologi Sastera, Persoalan Teori dan Metodologi. Dan juga Antologi eseinya dalam catatan Si Maling kundang. Ia menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama di Silungkang dan sekolah menengah atas di Bukittinggi, meraih ijazah sarjana sastra dari Universitas Indonesia, Jakarta pada tahun 1959 kemudian mengajar di IKIP Malang sampai 1967, menjadi pengajar bahasa Indonesia di Yale University, Amerika Serikat. Tahun 1967 hijarah ke Malaysia dan diterima menjadi dosen (pensyarah) di Universitas Malaya sambil meneruskan studinya. Ijazah Doktor Falsafah diraihnya dari Universitas Malaya pada tahun 1982 dengan disertasi “Sosiologi Sastera: Persoalan Teori dan Metode di sekitar Sastera Melayu dan Indonesia” yang kemudian diterbitkan (1986). Beberapa tahun kemudian ia dianugerahi gelar professor Madya oleh Universiti Malaya. Kalangan akademisi, kritikus, dan praktisi sastra Indonesia dan Malaysia amat mengenal kepakaran Umar Junus. Telaah dan ulasannya mengenai sastra Indonesia dan Malaysia wujud dalam bentuk buku, artikel ilmiah dan esai sastra. Bersama HB Jassin, ia dikenal seorang kritikus sastra Indonesia yang sangat produktif.
Tak kurang dari 60 judul buku (terbit di Indonesia dan Malaysia) sudah ditulis oleh Umar Junus, yang meliputi teori strukturalisme, sosiologi sastra, resepsi sastra, stilistika, dan semiotik. Ini dapat dikesan dari judul-judul karyanya, seperti Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar (1985), Sosiologi Sastera: Persoalan Teori dan Metode (1986), Karya sebagai Sumber Makna: Pengantar Strukturalisme (1988), dan Stilistik: Pendekatan dan Penerapan (1990), untuk sekedar menyebut contoh. Pikirannya mengalir deras bagai air sarasah, dan hampir tak henti-hentinya. Bahkan di masa pensiun ia tetap produktif menulis artikel. Buku-bukunya menjadi bacaan mahasiswa yang dapat membimbing mereka untuk memperoleh pengetahuan dasar mengenai ilmu sastra. Pada 8 Maret 2010, Subagio meninggal di Kuala Lumpur, Malaysia di usia 75 tahun.
Merari Siregar
            Merari Siregar adalah seorang sastrawan yang mula-mula menulis novelnya, Azab dan Sengsara dengan corak baru untuk ukuran zamannya ketika hikayat masih dominan. Lahir di Sipirok, Sumatera Utara, 13 Juli 1896. Ia bersekolah di Kweekschool, yaitu sekolah guru di zaman Belanda, sekolah guru Oost en West 'Timur dan Barat' di Gunung Sahari, Jakarta. Tahun 1923 ia mendapat ijazah dari Handelscrorrespondent Bond A di Jakarta. Mula-mula ia bekerja sebagai guru bantu di Medan dan setelah pindah ke Jakarta, ia bekerja di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Novel Azab dan Sengsara berbicara tentang kesengsaraan seorang gadis akibat kawin paksa. Merari Siregar sendiri menyatakan bahwa ia mengarang cerita ini bermaksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan kurang sempurna di tengah-tengah bangsanya, lebih-lebih di antara orang berlaki-laki. Selanjutnya ia juga menyatakan bahwa hal-hal dan kejaian yang tersebut dalam buku tersebut, meskipun seakan-akan tiada mungkin dalam pikiran pembaca adalah benar belaka, hanya waktunya iatur dibuat berturut-turut supaya cerita itu lebih nyata dan terang. Selain sebagai pengarang novel,
Merari Siregar juga seorang penyadur yang baik. Cerita sadurannya sangat hidup sehingga pembaca tidak merasakan cerita itu sebagai saduran dari luar negeri. Pembaca seolah-olah membaca cerita Indonesia asli, seperti dalam cerita sadurannya Si Jamin dan Si Johan. Karya Merari Siregar hanya berbentuk novel baik karya asli maupun saduran, yakni (1) Si Jamin dan Si Johan diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1918, saduran dari Jan Smees karya Justus van Maurik (Merari Siregar pernah mendapat hadiah dalam sayembara mengarang atas cerita Si Jamin dan Si Johan), (2) Azab dan Sengsara diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1920 di Jakarta, (3) Tjerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1924, (4) Binasa karena Gadis Priangan diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1931, dan (5) Tjinta dan Hawa Nafsu diterbitkan oleh Balai Pustaka. Terakhir dia pindah ke Kalianget, Madura, tempat ia bekerja di Opium end Zouregie sampai akhir hayatnya.
Mas Marco Kartodikromo
            Kartodikromo atau umum dikenal Mas Marco adalah penulis dan jurnalis Indonesia. Lahir di Blora, Jawa Tengah, Hindia Belanda, pada tahun 1890 dari keluarga priyayi (bangsawan) berpangkat rendah. Pada usia lima belas tahun, ia mulai bekerja di Nederlandsch Indische Spoorweg, yaitu perusahaan kereta api nasional Hindia Belanda, di Semarang. Pada tahun 1911 ia memilih untuk meninggalkan perusahaan karena ia muak dengan kebijakan rasis, termasuk penggunaan ras sebagai dasar untuk jumlah upah yang dibayar. Kartodikromo kemudian menuju ke Bandung, Jawa Barat, di mana ia mendapat pekerjaan di Medan Priyayi, surat kabar yang dikelola oleh Tirto Adhi Soerjo. Dari Medan Priyayi inilah bekal awal ia mengasah diri sebagai seorang jurnalis. Ketika media tersebut ditutup oleh Belandapada tahun 1912 Kartodikromo pergi ke Surakarta. Di sana, ia bergabung dengan Sarekat Islam, organisasi pedagang Muslim, dan mendapat pekerjaan di Sarekat Islam yang didukung Saro Tomo. Pada tahun 1914 ia memimpin majalah Doenia Bergerak. Makalah ini adalah corong dari Grup Wartawan Lokal Indonesia (Inlandse Journalisten Bond), yang dipimpin Kartodikromodan dalam pembangunannya dibantu bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Darnakoesoemo. Pada tahun yang sama, ia menerbitkan tiga volume karya Mata Gelap; hal ini menyebabkan polemik panjang antara Doenia Bergerak dan pemilik Cina Tjoen Tjioe di Surabaya karena dirasakan berbau rasisme.
Pada tahun 1918 ia menerbitkan Student Hidjo, yang menceritakan tentang seorang mahasiswa muda Indonesia yang jatuh cinta selama belajar di Belanda meski sudah memiliki tunangan di Indonesia. Karya ini, awalnya diterbitkan sebagai serial, bagian dari novel pada tahun 1919. Juga pada tahun 1918 ia menerbitkan kumpulan puisi, Sair-Sair Rempah. Pada tahun 1924, Kartodikromo menerbitkan Rasa Merdika (A Sense of Independence), yang berurusan dengan seorang pemuda yang bertentangan dengan ayah priyayinya, alat pemerintah kolonial Belanda, dan mencoba untuk menemukan kemerdekaan pribadi. Novel lain, Cermin Buah Keroyalan, dan drama panggung, Kromo Bergerak, diterbitkan tidak lama setelah itu. Pada 8 Maret 1932, ia meninggal di Boven-Digoel, Papua, Hindia Belanda.

Rudolf Mrazek
Rudolf Mrazek adalah pakar sejarah modern di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia yang lahir di Ceko. Mrazek mulai menelisik Indonesia pada masa-masa akhir penjajahan Belanda. Berbagai dokumen yang merekam pemikiran dan pengorbanan sejumlah tokoh telah ia telisik. Mulai dari Mas Marco Kartodikromo, jurnalis sekaligus penulis modern pertama di Indonesia, sampai ke Soesilo, intelektual muda yang cemerlang. Mrazek menghasilkan karya yang sangat kaya dan kompleks hingga mustahil untuk diringkas tanpa memiuh dan merusaknya. Mrazek menyumbang banyak kajian berharga tentang gerakan pembebasan sekaligus pergulatan bangsa-bangsa yang ada di Asia Tenggara.

R.M. Tirto Adhisoerjo

Pria yang memiliki nama kecil Djokomono ini mengenyam pendidikan di sekolah HBS Belanda dan meneruskan studin sebagai mahasiswa kedokteran di STOVIA, Batavia. Namun, karena lebih sibuk menulis di media masa, ia akhirnya tidak menyelesaikan sekolah dokternya. Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo adalah perintis Pers Nasional Indonesia dan tokoh kebangkitan Nasional Indonesia. Ia juga dianggap sebagai orang yang paling berjasa atas bangkitnya pergerakan kaum terdidik di Indonesia. Meskipun lahir di daerah Blora, Jawa Barat, namun Tirto lebih lama tinggal di wilayah Bandung, Jawa Barat. sejak usia muda, ia rajin mengirimkan tulisan-tulisannya ke sejumlah surat kabar dalam bahasa Belanda dan Jawa. Ia juga pernah membantu Chabar hindia Olanda pimpinan Alex Regensburgh selama dua tahun sebelum pindah menjadi redaktur Pembrita Betawi, Pimpinan F. Wriggers, yang tak lama kemudian digantikannya. Di Bandung, Tirto mendirikan 3 surat kabar, yakni Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Poetri Hindia (1908). Karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia) dan seluruh proses produksi dan penerbitannya dikerjakan oleh pribumi asli, Medan Prijaji pun akhirnya dianggap sebagai surat kabar Nasional yang pertama kali terbit. Medan Prijaji begitu digemari oleh masyarakat pada waktu itu karena adanya satu rubrik khusus yang menyediakan penyuluhan hukum gratis.
Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918. Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toerdalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula. Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo meninggal pada tanggal 7 Desember 1918. Ironisnya, tak satu pun surat kabar di Negara ini yang memuat berita kematiannya.
Umar Kayam

Umar Kayam, sosok yang lahir di Ngawi, 30 April 1932 ini dikenal sebagai seorang sosiolog, cerpenis, budayawan serta guru besar UGM. Ayahnya yang bernama Sastrosoekoso merupakan seorang guru di Hollands Islands School (HIS) yang mengharapkan anaknya dapat menjadi seperti sosok Omar Khayam yang seorang sufi, ahli perbintangan, ahli matematika, serta pujangga. Oleh karena itu, diberikanlah anaknya nama Umar Kayam. Sejak kecil, Umar telah akrab dengan dunia membaca. Ia terbiasa dengan bacaan-bacaan dongeng serta pelajaran yang terkait dengan bahasa Belanda. Karya Umar pertama kali dimuat di majalah adalah cerpen Bunga Anyelir. Setelah SMA, ia melanjutkan studinya ke Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada (1955), lalu lanjut ke Universitas New York, Amerika Serikat untuk meraih M.A. (1963). Tak sampai di situ, ia melanjutkan studinya ke Universitas Cornell, Amerika Serikat untuk meraih gelar Ph.D (1965).
Umar Kayam tidak hanya menulis karya sastra (cerpen dan novel), tetapi juga menulis esai, kolom, dan karya ilmiah. Dalam posisinya sebagai penulis, doktor sosiologi dari Cornell University, Amerika Serikat ini dinilai oleh sementara pakar tidak sepenuhnya berada di dunia ilmu, tetapi juga tidak sepenuhnya berada di dunia seni. Dia memadukan keduanya (ilmu dan seni), sehingga pada beberapa tulisannya sulit dicari garis tegas membedakan tulisan-tulisannya itu sebagai karya fiksi atau karya ilmiah. Di antara begitu banyak karya yang telah ia hasilkan, karyanya yang terkenal adalah Bawuk dan Sri Sumarah. Kemudian, cerpennya yang berjudul Seribu Kunang-kunang di Manhattan, pernah mendapatkan penghargaan dari majalah Horison. Sementara itu, novelnya yang berjudul Para Priyayi  mendapat penghargaan dari Yayasan Buku Utama. Umar Kayam meninggal pada 16 Maret 2002 dalam usia 70 tahun setelah terjatuh dan mengalami patah pangkal tulang paha.
George Eugene Uhlenbeck
George Eugene Uhlenbeck lahir di Batavia (Jakarta), 6 Desember 1900  adalah seorang fisikawan Amerika Serikat berdarah Belanda. Ia menjadi profesor di Universitas Michigan di Ann Arbor, Universitas Utrecht dan Universitas Columbia, New York City. Di samping sejumlah karya pada fisika atom dan partikel, ia mempostulasikan adanya spin elektron bersama dengan Samuel Goudsmit. Penemuan penting lain oleh Uhlenbeck adalah proses Ornstein-Uhlenbeck. Pada tahun 1964, bersama dengan Goudxsmit ia dianugerahi Medali Max Planck dan pada tahun 1979 ia dianugerahi Penghargaan Wolf dalam Fisika bersama dengan Giuseppe Occhialini. Uhlenbeck meninggal di Boulder, Colorado, Amerika Serikat 31 Oktober 1988 pada umur 87 tahun.
Triyanto Triwikromo

            Triyanto Triwikromo lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 15 September 1964 adalah sastrawan Indonesia. Redaktur sastra Harian Umum Suara Merdeka dan dosen Penulisan Kreatif Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, ini kerap mengikuti pertemuan teater dan sastra, antara lain menjadi pembicara dalam Pertemuan Teater-teater Indonesia di Yogyakarta (1988) dan Kongres Cerpen Indonesia di Lampung (2003). Ia juga mengikuti Pertemuan Sastrawan Indonesia di Padang (1997), Festival Sastra Internasional di Solo, Pesta Prosa Mutakhir di Jakarta (2003), dan Wordstorm 2005: Nothern Territory Festival di Darwin, Australia. Cerpennya Anak-anak Mengasah Pisau direspon pelukis Yuswantoro Adi menjadi lukisan, AS Kurnia menjadi karya trimatra, pemusik Seno menjadi lagu, Sosiawan Leak menjadi pertujukan teater, dan sutradara Dedi Setiadi menjadi sinetron (skenario ditulis Triyanto sendiri). Penyair terbaik Indonesia versi Majalah Gadis (1989) ini juga menerbitkan puisi dan cerpennya di beberapa buku antologi bersama. Triyanto juga merupakan salah satu tokoh yang memelopori gerakan Revitalisasi sastra pedalaman, pada dasawarsa 1990-an bersama Sosiawan Leakdan lain-lainnya. Tahun 1990 beliau dinyatakan sebagai salah seorang penyair terbaik versi Dirjen Kesenian RI. ''Mata Sunyi Perempuan Takroni'' terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik Kompas 2002.
Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar (artinya: tanah merah) yang memiliki nama asli Raden Abdul Jalil (ada juga yang menyebutnya Hasan Ali) (juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemahbang, dan Syekh Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Jepara. Asal usul serta sebab kematian Syekh Siti Jenar tidak diketahui dengan pasti karena ada banyak versi yang simpang-siur mengenai dirinya dan akhir hayatnya. Demikian pula dengan berbagai versi lokasi makam tempat ia disemayamkan untuk terakhir kalinya. Syekh Siti Jenar dikenal karena ajarannya, yaitu Manunggaling Kawula Gusti(penjawaan dari wahdatul wujud). Ajaran tersebut membuat dirinya dianggap sesat oleh sebagian umat Islam, sementara yang lain menganggapnya sebagai seorang intelek yang telah memperoleh esensi Islam. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya sendiri yang disebut Pupuh, yang berisi tentang budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.

Seno Gumira Ajidarma

Seno Gumira Ajidarma seorang cerpenis, esais, wartawan, dan pekerja teater. Nama samaran yang dimilikinya Mira Sato, digunakan untuk menulis puisi sampai tahun 1981. Dia lahir di Boston, Amerika Serikat pada tanggal 19 Juni 1958, tetapi dibesarkan di Yogyakarta. Ayahnya adalah Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. Ibunya, Poestika Kusuma Sujana, adalah dokter spesialis penyakit dalam.
Setelah lulus SMP, Seno tidak mau melanjutkan sekolah. Terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman Karl May, dia pun mengembara mencari pengalaman. Seperti di film-film: ceritanya seru, menyeberang sungai, naik kuda, dengan sepatu mocasin, sepatu model boot yang ada bulu-bulunya. Selama tiga bulan, ia mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, dia meminta uang kepada ibunya. Tapi, ibunya mengirim tiket untuk pulang. Maka, Seno pulang dan meneruskan sekolah. Ketika SMA, ia sengaja memilih SMA Kolese De Britto yang boleh tidak pakai seragam. Komunitas yang dipilih sesuai dengan jiwanya. Bukan teman-teman di lingkungan elite perumahan dosen Bulaksumur (UGM), rumah orangtuanya. Tapi, komunitas anak-anak jalanan yang suka tawuran dan ngebut di Malioboro.Dia juga ikut teater Alam pimpinan Azwar A.N pada tahun 1975 saat usianya 17 tahun. Karyanya yang pertama berbentuk puisi dimuat dalam rubrik "Puisi Lugu" dalam majalah Aktuil, asuhan Remy Sylado. Selanjutnya, Seno menulis cerpen dan esai. Cerpennya yang pertama "Sketsa dalam Satu Hari" dimuat dalam surat kabar Berita Nasional Tahun 1976. Esainya yang pertama dimuat dalam harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.
Kariernya di dunia kewartawanan dimulai pada tahun 1977 sebagai pembantu lepas harian Merdeka. Selanjutnya, Seno bekerja di majalah kampus Cikini dan menjadi pimpinan redaksi Sinema Indonesia (1980), dan redaktur mingguan Zaman (1983—1984). Seno juga bekerja di majalah Jakarta-Jakarta (1985—1992).
Pada tahun 2000, ia menyelesaikan studi di Magister Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia dan lima tahun kemudian ia menyelesaikan Doktor Ilmu Sastra, Universitas Indonesia.
Pada tahun 2008 ia, bersama Linda Christanty dan Kris Budiman, didapuk menjadi juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kesibukan Seno sekarang adalah membaca, menulis, memotret, jalan-jalan, selain bekerja di Pusat Dokumentasi Jakarta-Jakarta. Juga kini ia membuat komik. Baru saja ia membuat teater. Sekarang Seno menjadi Rektor di Institut Kesenian Jakarta sejak 2016 dan tetap menjadi dosen di Fakultas Film dan Televisi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar