Rabu, 28 November 2018


Bagian 2

          SEBUAH NAMA, SEBUAH CERITA

            (Menyikap Maksud Pencantum Nama dalam Puisi)

 

Kata-kata yang sukar dimengerti :

1.  Nasakom                     :Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (disingkat:                                                                              Nasakom) adalah konsep politik yang dicetuskan oleh                                                                         Presiden Soekarno di Indonesia, serta  merupakan ciri khas                                                                         dari Demokrasi Terpimpin.

2.  Prestisius                   : Berkenaan dengan prestise.

3.  Menekuri                  : Memandang kebawah.

4.  Termanifestasikan    :Terwujud ( dapat dilihat dengan mata).

  Pungtuasi                  : Tanda grafis yang digunakan secara konvensional untuk                                        

                                        memisahkan pelbagai bagian dari satuan bahasa tertulis; tanda baca.

6.      Mendedah                    : Membuka , menyingkapkan.

7.      Sanad                           : Sandaran, hubungan, atau rangkaian perkara yang dapat                                             dipercayai.

8.      Patron                          : Suri (teladan).

9.      Purna                           : Penuh; selesai.

10.  Stagnan                        : Dalam keadaan terhenti.

11.  Musykil                       : Bentuk tidak baku dari “ Muskil” yang artinya sukar                                                 sulit ; pelik

12.  Montase                       : ­­Kompilasi gambar yang dihasilkan dari pencampuran unsur                                        beberapa sumber, Karya sastra, musik, atau seni yang                                                   terjadi dari bermacam-macam unsur.

13.  Rublik                          : Kepala karangan (ruangan tetap) dalam surat kabar, majalah,                                     dan sebagainya.

14.  Etos                             : Pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial.

15.  Kapitalistik                  : Bersifat kapital, berkenaan dengan sistem kapitalisme.

16.  Nihilis                          : Pengikut paham nihilisme.

17.  Ejawantah                    : Jelma

18.  Keranjingan                 : Tergila-gila; gemar sekali.

19.  Langgam                      : Gaya; model; cara;adat atau kebiasaan.

20.  Signifikan                    : Penting; berarti.

21.  Menakrifkan                : Memberitahukan; menyatakan; menentukan; mendefisikan.

22.  Mercusuar                    : Sesuatu yang dipakai untuk memperoleh nama dan untuk                                         bergagah-gagah.

23.  Beraksentuasi              : Penggutamaan; penitikberatkan; penekanan.

24.  Surealis                        : Orang yang menganut aliran surealisme.

25.  Eksplisit                       : Terus terang dan tidak berbelit- belit.

26.  Klise                            : Gagasan (ungkapan) yang terlalu sering dipakai; tiruan; hasil                                     meniru.

27.  Berkelit                        :Berdalih; beralasan.

28.  Gubahan                      :Karangan.

29.  Kanon                          : Karya dramayang dianggap ciptaan asli seorang penulis.

30.  Metafor                        : Perbandingan.

31.  Epitaf                           :Tulisan singkat pada batu nisan untuk mengenang orang yang                                   dikubur di situ.

32.  Termaktub                   :Tertulis; tercantum.

33.  Bias                             : Simpangan.

34.  Estetika                        :Kepekaan terhadap seni dan keindahan.

35.  Intuitif                         : Bersifat (secara) intuisi, berdasarkan bisikan (gerak) hati.

36.  Imajiner                       : Hanya terdapat dalam angan –angan (bukan sebenarnya).

37.  Koheren                       : Berhubungan; bersangkut paut.

38.  Profan                       : Tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan;                                                                       lawan sakral; kotor; tidak suci.

39.  Keugaharian           : Kesedarhanaan; kesejahteraan.

40.  Tendensi                 : Kecenderungan; kecondongan.

41.  Kenes                     : Suka bergaya dan bertingkah laku dibuat-buat supaya menarik                                                                 perhatian; genit; keletah.

42.  Entitas                    : Satuan yang berwujud; maujud.

43.  Artifisial                 : Perihal tidak alami; kepalsuan.

44.  Pragmatis               : Bersifat praktis dan berguna bagi umum; bersifat                                                                                       mengutamakan segi kepraktisan.kegunaan(kemanfaatan).

45.  Aforisme               : Peryataan yang padat dan ringkas hidup atau kebenaran                                                                             umumnya.

 

Menurut dari esai yang telah saya baca berjudul Sebuah Nama, Sebuah Cerita di dalam esai tersebut menjelaskan mengenai sikap dan pendapat seorang penyair dalam hal pencantuman nama dalam sebuah puisi.Beberapa penyair mengungkapakan pendapatan mengenai penamaan tokoh dalam sebuah puisi.Tokoh-Tokoh yang menyikapi penamaan di dalam sebuah puisi antara lain:

 

1.      Subagio Sastrowardoyo

      Subagio Sastrowardoyo dilahirkan di Madiun (Jawa Timur) tanggal 1 Februari 1924. Ayahnya seorang pensiunan Wedana Distrik Uteran, Madiun, yang bernama Sutejo dan ibunya bernama Soejati. Subagio menikah dan dikaruniai tiga orang anak. Ia meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 18 Juli 1996 dalam usia 72 tahun.Adalah seorang dosen, penyair, penulis cerita pendek dan esei, serta kritikus sastra asal Indonesia. Selama bertahun-tahun, ia adalah direktur perusahaan penerbitan Balai Pustaka.

      Subagio berpendidikan HIS di Bandung dan Jakarta, HBS, SMP, dan SMA di Yogyakarta, Fakultas Sastra UGM selesai tahun 1958, Universitas Yale tahun 1961-1966. Pernah menjabat Ketua Jurusan Bahasa Indonesia Kursus B-I di Yogyakarta (1954-1958), dosen Kesustraan Indonesia di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM (1658-1961), dosen UNPAD, dosen SESKOAD keduanya di Bandung, dosen bahasa dan Kesusastraan Indonesia di Universitas Flinders, Adelaide, dan terakhir bekerja di Penerbit Balai Pustaka. Pada musim panas 1984, ia juga pernah menjadi seorang instruktur tamu di Universitas Ohio, dan mengajarkan bahasa Indonesia.

      Karya dari beliau sekitar tahun 1950-an, Subagio lebih menonjol sebagai pengarang cerpen daripada seorang penyair. Cerpennya yang berjudul Kejantanan di Sumbing pernah mendapatkan hadiah sebagai cerpen terbaik. Dalam cerpen dan sajak-sajaknya, banyak dilukiskan manusia yang gampang dirangsang oleh nafsunya. Manusia-manusia Subagio adalah manusia-manusia yang dalam mencoba mempertahankan kewajiban tergoda oleh sifat-sifat kedagingannya.

      Puisi-puisi Subagio umumnya dipandang mempunyai bobot filosofis yang tinggi dan mendalam, dan tidak dapat ditafsirkan secara harfiah. Perumpamaan dan lambang digunakannya secara dewasa dan matang. Sajaknya yang berjudul Dan Kematian Makin Akrab memenangkan Hadiah Horison untuk sajak-sajak yang dimuat tahun 1966-1967, dan tahun 1970 mendapatkan Anugerah Seni dari Pemerintah RI untuk kumpulan sajaknya Daerah Perbatasan (1970).

      Subagio juga terjun dalam dunia kritik dan telaah sastra. Esei-eseinya banyak yang mencoba menyelami latar persoalan manusia Indonesia sekarang secara jujur dan tajam.Puisinya antara lain :

·         Simphoni (1957)

·         Daerah Perbatasan (1970)

·         Keroncong Motinggo (1975)

·         Buku Harian (1979)

·         Hari dan Hara (1982)

·         Kematian Makin Akrab (1995)

 

2.      Chairil Anwar

      Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun), dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia berdarah Minangkabau. Ia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia.

            Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, di mana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Pusinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.

      Chairil Anwar merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia masih punya pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya. Namun, Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun; sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya.

      Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah.Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman.

      Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) di mana ia berkenalan dengan dunia sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya.Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.

Puisi Aku yang dipajang di tembok di Leiden

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan puisinya yang berjudul Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun.[6] Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian.[6] Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai pada akhir tahun 1948.

 

Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949; penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Chairil dirawat di CBZ (RSCM) dari 22-28 April 1949. Menurut catatan rumah sakit, ia dirawat karena tifus. Meskipun demikian, ia sebenarnya sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi yang menyebabkan dirinya makin lemah, sehingga timbullah penyakit usus yang membawa kematian dirinya - yakni ususnya pecah. Tapi, menjelang akhir hayatnya ia menggigau karena tinggi panas badannya, dan di saat dia insaf akan dirinya dia mengucap, "Tuhanku, Tuhanku..." Dia meninggal pada pukul setengah tiga sore 28 April 1949, dan dikuburkan keesokan harinya, diangkut dari kamar mayat RSCM ke Karet oleh banyak pemuda dan orang-orang Republikan termuka.Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus".

Selama hidupnya, Chairil telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi; kebanyakan tidak dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh, ditulis pada tahun 1949,[4] sedangkan karyanya yang paling terkenal berjudul Aku dan Krawang Bekasi.[5] Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak, dikompilasi dalam tiga buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).

 

Karya tulis yang diterbitkan

ü  Deru Campur Debu (1949)

ü  Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)

ü  Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)

ü  "Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", disunting oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)

ü  Derai-derai Cemara (1998)

ü  Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide

ü  Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck

Karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Jerman, bahasa Rusia dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya adalah:

Ø  "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960)

Ø  "Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962)

Ø  Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963)

Ø  "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969)

Ø  The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)

Ø  The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)

Ø  Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)

Ø  The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Ø  Dalam Kumpulan "Poeti Indonezii" (Penyair-Penyair Indonesia). Terjemahan oleh S. Semovolos. Moscow: Inostrannaya Literatura, 1959, № 4, hlm. 3-5; 1960, № 2, hlm. 39-42.

Ø  Dalam Kumpulan "Golosa Tryoh Tisyach Ostrovov" (Suara Tiga Ribu Pulau). Terjemahan oleh Sergei Severtsev. Moscow, 1963, hlm. 19-38.

Ø  Dalam kumpulan "Pokoryat Vishinu" (Bertakhta di Atasnya). Puisi penyair Malaysia dan Indonesia dalam terjemahan Victor Pogadaev. Moscow: Klyuch-C, 2009, hlm. 87-89.

Karya-karya tentang Chairil Anwar

·         Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)

·         Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).

·         Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)

·         S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)

·         Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976)

·         Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976

·         H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983)

·         Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)

·         Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)

·         Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)

·         Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)

·         Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)

·         Drama Pengadilan Sastra Chairil Anwar karya Eko Tunas, sutradara Joshua Igho, di Gedung Kesenian Kota Tegal (2006).

Kontroversi

Puisi hasil karya Chairil sempat dituduh sebagai hasil plagiarisme[10] oleh H.B Jassin. Dalam tulisannya pada Mimbar Indonesia yang berjudul Karya Asli, Saduran, dan Plagiat ia membahas tentang kemiripan puisi Karawang-Bekasi dengan The Dead Young Soldiers karya Archibald MacLeish. Namun, Jassin tidak menyalahkan Chairil. Menurut dia, meskipun mirip, tetap ada rasa Chairil di dalamnya. Sedangkan sajak MacLeish, menurut Jassin, hanyalah katalisator penciptaan.

3.      Toto Sudarto Bachtiar

Toto Sudarto Bachtiar (1929—2007) Pengarang Toto Sudarto Bachtiar seorang penyair dasawarsa 1950-an yang diperkenalkan pertama kali oleh H.B. Jassin dengan sajaknya "Ibu Kota Senja". Dia lahir di Palimanan, Cirebon, 12 Oktober 1929 Selasa, 9 Oktober 2007 dan meninggal di rumah salah seorang familinya di Cisaga, Ciamis, Jawa Barat. Toto meninggalkan seorang istri, Zainar (80), seorang putri, Sri Adila Perikasih . Pendidikan yang ditempuhnya HIS di Banjar (Ciamis), Sekolah Pertanian di Tasikmalaya, Mulo di Bandung, dan terakhir pernah kuliah di Fakultas Hukum UI, Jakarta. Selain dikenal sebagai penyair yang kuat pada tahun 1950-an, Toto dikenal sebagai penerjemah yang baik. Penguasaannya terhadap bahasa Belanda dan Inggris menjadi modalnya untuk berkenalan dengan sastra dunia yang kemudian ia terjemahkan. Karya terjemahannya, antara lain, Pelacur (drama, Jean Paul Sartre, 1954), Bayangan Memudar (1975) novel Breton de Nijs yang diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa, Pertempuran Penghabisan (1976) novel Ernest Hemingway, dan Sanyasi (1979) drama Rabindranath Tagore. Menurut pengakuannya dalam wawancara tahun 2002 di Bandung, ia menunggu penerbit untuk terjemahan karya Leo Tolstoy Perang dan Damai. Nama Toto juga sudah begitu akrab di telinga anak-anak yang masih menginjak bangku sekolah dasar. Puisinya sering muncul di buku-buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dan musikalisasi puisi karyanya disebar ke sekolah-sekolah untuk apresiasi sastra. Bahkan, pada 1987, penyanyi Ari Malibu dan Reda Gaudiamo menyanyikan dua lagu yang digubah dari puisi karya Toto Sudarto Bachtiar ("Gadis Peminta-minta") dan Goenawan Mohammad ("Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi"). Kedua lagu itu dijadikan album mini berisi musikalisasi lima puisi penyair terkenal Indonesia. Proyek Pekan Apresiasi Seni tersebut digarap A.G.S. Arya Dipayana, yang diprakarsai Fuad Hassan (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu) dan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Konon, album mini tersebut kemudian disebarkan di sekolah-sekolah untuk apresiasi sastra. "Konon lagi, disukai dan sukses," tutur Ari Malibu dalam blog Dunia Ari Reda. Toto termasuk generasi penerus penyair Chairil pada dasawarsa 1950-an bersama dengan Sitor Situmorang, Harijadi S. Hartowardoyo, yang disebut Subagio Sastrowardoyo sebagai generasi Kisah. Dia menulis di majalah Siasat (dalam lembaran Gelanggang), Pujangga Baru, Indonesia, Zenith, dan Mimbar Indonesia. Dia pernah menjadi redaktur majalah AURI Angkasa. Kumpulan sajaknya yang telah terbit adalah Suara (1956), yang memperoleh Hadiah Sastra BMKN tahun 1956. Kumpulan sajaknya yang kedua Etsa (1958). Dengan sajak-sajaknya yang terkumpul dalam kedua buku itu, Toto Sudarto Bachtiar digolongkan sebagai penyair yang kuat pada dasawarsa 1950-an.

4.      W.S. Rendra

         W.S. Rendra yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Sejak muda, dia menulis puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa. Pernah mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada, dan dari perguruan tinggi itu pulalah dia menerima gelar Doktor Honoris Causa. Penyair yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak", ini, tahun 1967 mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater itu, Rendra melahirkan banyak seniman antara lain Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, dan lain-lain. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, ia memindahkan Bengkel Teater di Depok, Oktober 1985.

         Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.

         Pendidikan

TK Marsudirini, Yayasan Kanisius, SD s.d. SMA Katolik, SMA Pangudi Luhur Santo Yosef, Solo (tamat pada tahun 1955), Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967).

         Rendra sebagai sastrawan

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek, dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.

         Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun '60-an dan tahun '70-an.

         Kaki Palsu adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan Orang-orang di Tikungan Jalan adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya, Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan '60-an, atau Angkatan '70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri

         Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.

         Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).

         Bengkel Teater dan Bengkel Teater Rendra

Pada tahun 1967, sepulang dari Amerika Serikat, ia mendirikan Bengkel Teater yang sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Namun sejak 1977 ia mendapat kesulitan untuk tampil di muka publik baik untuk mempertunjukkan karya dramanya maupun membacakan puisinya. Kelompok teaternya pun tak pelak sukar bertahan. Untuk menanggulangi ekonominya Rendra hijrah ke Jakarta, lalu pindah ke Depok. Pada 1985, Rendra mendirikan Bengkel Teater Rendra yang masih berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya..Bengkel teater ini berdiri di atas lahan sekitar 3 hektar yang terdiri dari bangunan tempat tinggal Rendra dan keluarga, serta bangunan sanggar untuk latihan drama dan tari. Di lahan tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman yang dirawat secara asri, sebagian besar berupa tanaman keras dan pohon buah yang sudah ada sejak lahan tersebut dibeli, juga ditanami baru oleh Rendra sendiri serta pemberian teman-temannya. Puluhan jenis pohon antara lain, jati, mahoni, eboni, bambu, turi, mangga, rambutan, jengkol, tanjung, singkong, dan lain-lain.

Penghargaan

1.      Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954)

2.      Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)

3.      Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)

4.      Hadiah Akademi Jakarta (1975)

5.      Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)

6.      Penghargaan Adam Malik (1989)

7.      The S.E.A. Write Award (1996)

8.      Penghargaan Achmad Bakri (2006).

Beberapa karya

A.     Drama

§  Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)

§  Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) - 1967

§  SEKDA (1977)

§  Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 6 kali)

§  Mastodon dan Burung Kondor (1972)

§  Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali

§  Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)

§  Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")

§  Lysistrata (terjemahan)

§  Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,

§  Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,

§  Kasidah Barzanji (dimainkan 2 kali)

§  Lingkaran Kapur Putih

§  Panembahan Reso (1986)

§  Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)

§  Shalawat Barzanji

§  Sobrat

B.     Kumpulan Sajak/Puisi

a.       Ballada Orang-orang Tercinta (Kumpulan sajak)

b.      Blues untuk Bonnie

c.       Empat Kumpulan Sajak

d.      Sajak-sajak Sepatu Tua

e.       Mencari Bapak

f.       Perjalanan Bu Aminah

g.       Nyanyian Orang Urakan

h.      Pamphleten van een Dichter

i.        Potret Pembangunan Dalam Puisi

j.        Disebabkan Oleh Angin

k.      Orang Orang Rangkasbitung

l.        Rendra: Ballads and Blues Poem

m.    State of Emergency

n.      Do'a Untuk Anak-Cucu.

 

5.      Goenawan Mohamad

         Goenawan Soesatyo Mohamad ((lahir di Batang, 29 Juli 1941; umur 77 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo. Ia merupakan adik Kartono Mohamad, seorang dokter yang menjabat sebagai ketua IDI.

Goenawan Mohamad adalah seorang intelektual yang memiliki pandangan yang liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional

   Goenawan Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum. Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas 6 SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian kakaknya yang dokter, ketika itu berlangganan majalah Kisah asuhan H.B Jassin. Goenawan yang biasanya dipanggil Goen, belajar psikologi di Universitas Indonesia, ilmu politik di Belgia, dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.

   Dunia jurnalistik

Karier GM—panggilan singkatnya—dimulai dari redaktur Harian KAMI (1969-1970), redaktur Majalah Horison (1969-1974), pemimpin redaksi Majalah Ekspres (1970-1971), pemimpin redaksi Majalah Swasembada (1985).[2] Dan sejak 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Di sana, ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah, sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994.

 

Goenawan Mohammad awalnya berharap bisa membangkitkan Tempo lagi lewat PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), di mana ia menjadi salah satu anggota. Setelah PWI yang terkooptasi rezim Soeharto ternyata tak bisa diandalkan, Goenawan kemudian mendukung inisiatif para jurnalis muda idealis yang mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institusi Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Soeharto diturunkan pada tahun 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian Koran Tempo.

 

Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohammad dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada Tommy Winata. Pernyataan Goenawan Mohammad pada tanggal 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos Artha Graha itu.

 

Selepas jadi pemimpin redaksi majalah Tempo dua periode (1971-1993 dan 1998-1999), Goenawan praktis berhenti sebagai wartawan. Bersama musisi Tony Prabowo dan Jarrad Powel ia membuat libretto untuk opera Kali (dimulai 1996, tetapi dalam revisi sampai 2003) dan dengan Tony, The King’s Witch (1997-2000). Yang pertama dipentaskan di Seattle (2000), yang kedua di New York. Pada tahun 2006, Pastoral, sebuah konser Tony Prabowo dengan puisi Goenawan, dimainkan di Tokyo, 2006. Pada tahun ini juga ia mengerjakan teks untuk drama-tari Kali-Yuga bersama koreografer Wayan Dibya dan penari Ketut beserta Gamelan Sekar Jaya di Berkeley, California.

 

Dia juga ikut dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam bahasa Indonesia dan Jawa, Goenawan menulis teks untuk wayang kulit yang dimainkan Dalang Sudjiwo Tedjo, Wisanggeni, (1995) dan Dalang Slamet Gundono, Alap-alapan Surtikanti (2002), dan drama-tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirtosudarmo.

Karya sastra

         Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan, di antaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian esainya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980). Tetapi lebih dari itu, tulisannya yang paling terkenal dan populer adalah Catatan Pinggir (Caping), sebuah artikel pendek yang dimuat secara mingguan di halaman paling belakang Majalah Tempo. Konsep dari Caping adalah sekadar sebuah komentar ataupun kritik terhadap batang tubuh yang utama. Artinya, Caping mengambil posisi di tepi, bukan posisi sentral. Sejak kemunculannya pada akhir tahun 1970-an, Catatan Pinggir telah menjadi ekspresi oposisi terhadap pemikiran yang picik, fanatik, dan kolot.

         Catatan Pinggir, esai pendeknya tiap minggu untuk Majalah Tempo, (kini terbit jilid ke-6 dan ke-7) di antaranya terbit dalam terjemahan Inggris oleh Jennifer Lindsay, dalam Sidelines (Lontar Foundation, 1994) dan Conversations with Difference . Kritiknya diwarnai keyakinan Goenawan bahwa tak pernah ada yang final dalam manusia. Kritik yang, meminjam satu bait dalam sajaknya, “dengan raung yang tak terserap karang”.

         Kumpulan esainya berturut turut: Potret Seorang Peyair Muda Sebagai Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).     

         Sajak-sajaknya dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001). Terjemahan sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak, terbit dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).

         Setelah pembredelan Tempo pada 1994, ia mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi), sebuah organisasi yang dibentuk bersama rekan-rekan dari Tempo dan Aliansi Jurnalis Independen, serta sejumlah cendekiawan yang memperjuangkan kebebasan ekspresi. Secara sembunyi-sembunyi, antara lain di Jalan Utan Kayu 68H, ISAI menerbitkan serangkaian media dan buku perlawanan terhadap Orde Baru. Sebab itu di Utan Kayu 68H bertemu banyak elemen: aktivis pro-demokrasi, seniman, dan cendekiawan, yang bekerja bahu membahu dalam perlawanan itu.

         Dari ikatan inilah lahir Teater Utan Kayu, Radio 68H, Galeri Lontar, Kedai Tempo, Jaringan Islam Liberal, dan terakhir Sekolah Jurnalisme Penyiaran, yang meskipun tak tergabung dalam satu badan, bersama-sama disebut “Komunitas Utan Kayu”. Semuanya meneruskan cita-cita yang tumbuh dalam perlawanan terhadap pemberangusan ekspresi. Goenawan Mohamad juga punya andil dalam pendirian Jaringan Islam Liberal.

 

Tahun 2006, Goenawan dapat anugerah sastra Dan David Prize, bersama esais dan pejuang kemerdekaan Polandia, Adam Michnik, dan musikus Amerika, Yo-yo-Ma. Tahun 2005 ia bersama wartawan Joesoef Ishak dapat Wertheim Award.

 

Karya terbaru Goenawan Mohamad adalah buku berjudul Tuhan dan Hal Hal yang Tak Selesai (2007), berisi 99 esai liris pendek. Edisi bahasa Inggrisnya berjudul On God and Other Unfinished Things diterjemahkan oleh Laksmi Pamuntjak.

6.      Tia Setiadi

         Tia Setiadi adalah seorang penyair, penulis esai, editor dan penerjemah Indonesia. Esai dan sajaknya telah diterbitkan oleh media terkemuka seperti Kompas, Jawa Pos, Jurnas, Koran Tempo, Majalah Horison, Jurnal Sajak, Jurnal Kritik, Jurnal Poetika, Jurnal Cipta, Jurnal Diskursus. Tia telah menerima penghargaan nasional dan internasional untuk kumpulan esai dan puisinya, di antaranya adalah Penghargaan Majalah Horison (2008), Penghargaan Dewan Kesenian Jakarta (2007 dan 2009), Penghargaan Pena Emas (2012), dan Southeast Asia Literary Council Award (2013) untuk kumpulan puisinya “Tangan yang Lain”, Penghargaan Balai Bahasa Yogyakarta (2016) untuk kumpulan esai dan kritik “Petualangan Yang Mustahil”. Tia juga dikenal sebagai editor puisi di basabasi.co dan penerjemah dari banyak buku, di antaranya kumpulan puisi Pablo Neruda, kumpulan Esai Mario Vargas Llosa, kumpulan cerpen dari Alice Munro, kumpulan puisi dan cerpen Edgar Allan Poe, kumpulan puisi Rilke, kumpulan wawancara Noam Chomsky, kumpulan puisi Octavio Paz. Sekarang ini Tia tinggal di Yogyakarta.

7.      Acep Zam Zam Noor

         Acep Zam Zam Noor adalah sastrawan yang lahir tanggal 28 Februari 1960. betikut ini biografi singkat Acep Zam Zam Noor kecil sampai remaja menghabiskan waktunya di pondok pesantren. Kepenyairannya lahir di Cipasung, tepatnya di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Karena dilahirkan dan dibesarkan di pondok pesantren,  nuansa keislaman dalam karyanya sangat terasa. "Cipasung" adalah sebuah puisi yang ditulisnya. Puisi itu menggambarkan keadaan desa yang tenang dan damai dengan nuansa islami yang kental. Selain nuansa keislaman, nuansa Jawa Barat juga sangat terasa. Beberapa puisinya  ada yang ditulis dengan menggunakan bahasa Sunda. Di Pondok Pesantren Cipasung pula, Acep mendirikan komunitas sastra, yaitu Sanggar Sastra Tasik dan Komunitas Azan, yang bergerak dalam pembinaan dan pemasyarakatan sastra, khususnya, dan kesenian serta kebudayaan, pada umumnya.  Meskipun ayah Acep Zam Zam Noor seorang ulama Nahdlatul Ulama yang terkenal di Pondok Pesantren Cipasung,  Acep tidak mengikuti jejak ayahnya. Dia lebih memilih jalur kesenian sebagai jalan hidupnya.

         Ketika duduk di bangku SMP, bakat menulis Acep kian tampak. Pada awalnya, dia menulis puisi dengan menggunakan bahasa Sunda. Selain itu, ia menulis puisi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Puisi pertama yang ditulis kemudian dimuat dalam media massa yang terbit di Bandung dan Jakarta. Bakat menulisnya terus berkembang. Setelah menamatkan bangku SMA di Pondok Pesantren As-Syafi’iyah, Jakarta, Acep melanjutkan sekolah di Bandung. Acep yang mengenyam kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB kian bersemangat untuk menulis.  Acep tidak hanya menulis puisi, tetapi juga melukis dan ikut aktif terlibat dalam klub diskusi kesenian. Setelah menamatkan kuliah di Jurusan Seni Lukis, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (1980—1987), Acep tetap berkesenian. Tahun 1991—1993, Acep mendapat bea siswa dari pemerintah Italia untuk belajar di Universitas Stranieri, Perugia, Italia. Antara melukis dan menulis puisi bagi Acep merupakan satu kesatuan dalam kehidupan yang tidak dapat dipisahkan. Di sela-sela kesibukan menulis puisi dan mengikuti pameran di beberapa tempat, Acep juga sibuk membimbing penulis muda untuk terus menulis di sanggarnya di Cipasung, Tasikmalaya.

               Kegiatan lainnya, selain menulis puisi dan mengikuti beberapa pameran, Acep juga  menjadi pendamping delegasi Indonesia dalam Bengkel Puisi Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) Jakarta tahun 1977. Tahun 2001 mengikuti Festival Puisi Internasional Winternachten Overzee di Teater Utan Kayu, Jakarta, dan mengikuti  acara Southeast Asian Writers Meet di Kulala Lumpur tahun 2002,  mengikuti Festival Puisi Internasional di Makassar, dan mengikuti kegiatan di Den Haag, Belanda, tahun 2004.

Karya Acep Zam Zam Noor:

1. Tamparlah Muka (1982)

2. Aku Kini Doa (1986)

3. Kasidah Sunyi (1989)

4. Dayeuh Matapoe (puisi Sunda, 1993)

5. Dari Kota Hujan (1996)

6. Di Luar Kota (1996)

7. Di Atas Umbria (1999)

8. Dongeng dari Negeri Sembako (2001)

9. Jalan Menuju Rumahku (2004)

 

Selain kumpulan puisi yang telah diterbitkan, karya puisi Acep juga ada yang pernah dimuat dalam majalah sastra dan jurnal, seperti majalah Horison, Kalam, Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi,  Dewan Sastra Jurnal Puisi Melayu (Malaysia), dan Perisa. Beberapa karya puisinya juga telah dimuat dalam beberapa antologi, seperti:

1. Antologi Puisi Indonesia Modern Tonggak IV (Gramedia, 1987)

2. Dari Negeri Poci II (Tiara, 1994)

3. Ketika Kata Ketika Warna (Yayasan Ananda, 1995)

4. Takbir Para Penyair (Festival Istiqal, 1995)

5. Negeri Bayang-Bayang (Festival Surabaya, 1996)

6. Cermin Alam (Taman Budaya Jabar, 1996)

7. Utan Kayu: Tafsir dalam Permainan (Kalam, 1998)

8. Angkatan 2000 (Gramedia, 2001)

9. Dari Fansuri ke Handayani (Horison, 2001)

10. Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002)

11. Napas Gunung (Dewan Kesenian Jakarta, 2004)

 

               Selain karya puisi yang ditulisnya bertema religius dan sosial, Acep Zam Zam Noor juga menulis puisi cinta yang romantis. Antologi puisinya yang berjudul Menjadi Penyair Lagi (Penerbit Pustala Azan, 2007) mewakili tren “puisi romantis”. Antologi ini dibagi dalam dua kelompok. Kelompok 1 berisis puisi lama (1978—1989) yang menurut  Acep “sempat tercecer dan terlupakan” selama ini. Sebagian lagi berisi puisi barunya (1990—2006). Puisinya juga  telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang dimuat dalam The Poets Chant (Jakarta, 1995), In Words in Colour (Jakarta, 1995), A Bonsai’s Morning (Bali, 1996), serta diterjemahkan oleh Harry Aveling untuk Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1996—1998 (Ohio University Press, 2001) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda serta dimuat dalam Toekomstdromen (Amsterdam, 2004). Puisi yang berbahasa  Sunda juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ayip Rosidi dan Wendy Mukherjee untuk Modern Sundanese Poetry: Voices from West Java (Pustaka Jaya, 2001) dan dalam bahasa Prancis oleh Ayip Rosidi dan Henry Chambert Loir untuk Poemes Soundanais: Antologie Bilingue (Pustaka Jaya, 2001).

Di samping menulis puisi, Acep Zam Zam Noor sampai sekarang masih aktif dalam pameran lukisan, baik di dalam maupun luar negeri, seperti di Singapura, Filipina, Belanda, dan Malaysia.

 

Penghargaan

1.  Hadiah Sastra Lembaga Bahasa Jeung Sunda untuk puisi Sunda pada tahun 1991 dan 1993

2. Nomine hadiah Rancange untuk Dayeuh Matapoe tahun 1994

3.  Penghargaan penulisan karya sastra dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, untuk karya Di Luar Kata tahun 2001

4.  Penghargaan penulisan karya sastra dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, tahun 2005 untuk karya Jalan Menuju Rumahmu

5. Penghargaan  The Sea Write Awards tahun 2005 untuk karya Jalan Menuju    Rumahmu.

 

8.      Jan Engelbert Tatengkeng


Jan Engelbert Tatengkeng lahir:19 Oktober 1907 Kalongan, Sangihe, Sulawesi Utara, Hindia Belanda. Beliau meninggal pada 6 Maret 1968 di usia ke 60 tahun, di Ujung Padang Sulawesi Selatan . profesi beliau adalah seorang penyair

Jan Engelbert Tatengkeng disingkat dengan dengan J.E.Tatengkeng atau yang sering disapa dengan nama Oom Jan adalah penyair Indonesia Angkatan Pujangga Baru. Selain itu ia juga pernah menjabat Perdana menteri Negara Indonesia Timur. Ia merupakan satu-satunya penyair Kristen yang menampilkan sisi religi dalam karya-karyanya. Salah satu karyanya yang sangat terkenal adalah buku kumpulan puisi berjudul "Rindu Dendam" yang memuat 32 sajak hasil karyanya (1934).

J.E.Tatengkeng 
lahir di Kalongan, Sangihe, Sulawesi Utara, Hindia Belanda, 19 Oktober 1907. J.E. Tatengkeng berasal dari latar belakang keluarga Kristen yang taat. Ayahnya guru Injil dan kepala sekolah Zending. J.E. Tatengkeng menempuh pendidikan pertama kali di Zendingsvolksschool berbahasa Sangihe di Mitung. Sesudah itu ia melanjutkan ke HIS di Manganitu. Dari sana ia meneruskan ke Christelijk Middagkweekschool di Bandung, Jawa Barat, lalu Christelijk Hogere Kweekschool di Solo, Jawa Tengah.

Pada masa bersekolah ini, J.E. Tatengkeng mulai berkenalan dengan Tachtigers, suatu aliran kesusastraan Belanda yang disebut juga sebagai Angkatan 80-an. Aliran kesusastraan inilah yang kemudian banyak mempengaruhi sajak-sajaknya.


Karier

Selain sebagai penyair, J.E. Tatengkeng juga merupakan tokoh pendidikan dan negarawan. Sebagai tokoh pendidikan ia pernah menjadi guru bahasa Indonesia di Tahun tahun 1932, Kepala Schakelschool di Pulau Siau, Kepala Sekolah HIS di Tahuna, Menteri Muda urusan Pengajaran tahun 1948, dan terakhir Kepala Jawatan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan Kemendikbud perwakilan Sulawesi tahun 1951. Di Makassar, ia turut mengajar dan membidani lahirnya Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.

Sebagai negarawan, J.E. Tatengkeng pernah menjabat sebagai Perdana menteri Negara Indonesia Timur pada rentang tahun 1949-1950.


Karya

Puisi – Di Majalah Poedjangga Baroe

v  Hasrat Hati
v  Anak Kecil
v  Laut
v  Beethoven
v  Petang
v  en:Alice Nahon
v  O, Bintang
v  Gambaran
v  Sinar dan Bayang
v  Katamu Tuhan
v  Sinar di Balik
v  en:Willem Kloos
v  Tangis

Puisi di majalah-majalah lain

1.      Anak Kecil
2.      Penumpang kelas 1
3.      Gadis Bali
4.      Aku Berjasa
5.      Gua Gajah
6.      Cintaku
7.      Ke Balai
8.      Mengheningkan Cipta
9.      Sekarang Ini
10.  Aku dan Temanku
11.  Sinar dan Bayang
12.  Kepada Dewan Pertimbangan Kebudayaan
13.  Aku Dilukis
14.  Sang Pemimpin (Waktu) Kecil
15.  Bertemu Setan

Prosa

·         Datuk yang Ketularan
·         Kemeja Pancawarna
·         Prawira Pers Tukang Nyanyi
·         Saya Masuk Sekolah Belanda
·         Sepuluh Hari Aku Tak Mandi

Drama

v  Lena (1958)

9.      Jassin
Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat menjadi H.B. Jassin (lahir di Gorontalo , 31 Juli 1917 – meninggal di Jakarta, 11 Maret 2000 pada umur 82 tahun) adalah seorang  penggarang , penyunting,  dan kritikus sastra berkebangsaan Indonesia.  Tulisan-tulisannya digunakan sebagai sumber referensi bagi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kalangan sekolah dan perguruan tinggi dengan menggolongkan angkatan sastra. Dia mendirikan  Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin yang kemudian mendapat bantuan gedung dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta di Taman Ismail Marzuki . Karena kiprahnya di bidang kritik dan dokumentasi sastra, dia dijuluki Paus Sastra Indonesia.
Ayahnya bernama Bague Mantu Jassin, seorang kerani Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), dan ibunya bernama Habiba Jau. Setelah menamatkan Gouverments HIS Gorontalo pada tahun 1932, Jassin melanjutkan ke HBS-B 5 tahun di Medan, dan tamat akhir 1938. Tanggal 15 Agustus 1957, Jassin meraih gelar kesarjanaannya di Fakultas Sastra UI, dan kemudian memperdalam pengetahuan mengenai ilmu perbandingan sastra Universitas Yale, Amerika Serikat (1958-59).

Cerpen dan Puisi

Sebelum sepenuhnya berkiprah di bidang kritik sastra, H.B. Jassin sempat menulis cerpen dan puisi. Pada zaman kolonial karya-karyanya dimuat di Volksalmanak, Pandji Poestaka, dan Poedjangga Baroe. Pada zaman pendudukan Jepang karya-karyanya dimuat di Djawa Baroe. Setelah kemerdekaan, karya-karyanya dimuat di Merdeka dan Pantja Raja. Menurut Sapardi Djoko Damono, setelah pertengahan 1940-an, Jassin tampaknya tidak berminat lagi pada penulisan cerpen dan puisi.

Kritik Sastra

Kritik sastra yang dikembangkan H.B. Jassin umumnya bersifat edukatif dan apresiatif, serta lebih mementingkan kepekaan dan perasaan daripada teori ilmiah sastra. Pada awal periode 1970-an, beberapa sastrawan beranggapan bahwa kritik sastra H.B. Jassin bergaya konvensional, sedangkan pada saat itu telah mulai bermunculan para sastrawan yang mengedepankan gaya eksperimental dalam karya-karya mereka. 
Kiprah Jassin dalam kritik sastra turut membesarkan nama Chairil Anwar dalam kancah sastra Indonesia. Dalam sebuah tulisan yang memperkenalkan puisi-puisi Chairil, dia menunjukkan ekspresionisme dalam karya-karya tersebut. Selain itu, dia juga menunjukkan letak pembaruan Chairil terhadap konvensi puisi pada masa itu. Dalam tulisan pada zaman pendudukan Jepang itu, dia menyantumkan empat puisi Chairil: "1943", "Hampa", "Sendiri", dan "Selamat Tinggal”.  Pada tahun 1956, ia membela Chairil Anwar yang dituduh sebagai plagiat, melalui bukunya yang terkenal berjudul Chairil Anwar Penyair Angkatan 45.
Karena pengaruhnya dalam sastra Indonesia, pada tahun 1965, dalam suatu simposium sastra, H.B. Jassin dijuluki sebagai Paus Sastra Indonesia oleh Gayus Siagian.

Terjemahan

Selain menulis kritik sastra, Jassin juga banyak menerjemahkan. Salah satu karya terjemahannya menuai kontroversi, yakni terjemahan Al Quran.

 

Kritik Sastra

Tifa Penyair dan Daerahnya (1952)
Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I-IV (1954, 1967; edisi baru, 1985)
Kisah: Sorotan Cerita Pendek (1961)
Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (1983)
Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983)
Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993)
Koran dan Sastra Indonesia (1994)

sebagai Editor

1)      Gema Tanah Air (1948)
2)      Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1948)
3)      Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (1962)
4)      Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (1963)
5)      Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968)
6)      Heboh Sastra 1968 (1970)
7)      Polemik: Suatu Pembahasan Sastra dan Kebebasan Mencipta Berhadapan dengan Undang-Undang dan Agama (1972)

Terjemahan

a)      Chusingura karya Sakae Shioya (terjemahan bersama Karim Halim) (1945)
b)      Renungan Indonesia karya Sjahrazad (1947)
c)      Terbang Malam karya A. de St. Exupery (1949)
d)      Api Islam karya Syed Ameer Ali (1966)
e)      Cerita Panji dalam Perbandingan karya Poerbatjaraka (terjemahan bersama Zuber Usman) (1968)
f)       Max Havelaar karya Multatuli (1972)
g)      Cis karya Vincent Mahieu (1976)
h)      Cuk karya Vincent Mahieu (1976)
i)        Pemberontakan Gudalajara karya J. Slauerhoff (1976)
j)        Al Qur'anul'-karim - Bacaan Mulia (1978)
k)      Teriakan Kakatua Putih: Pemberontakan Patimura di Maluku karya Joohan Fabricius (1980)
l)        Berita Besar (1984)
m)    Percakapan Erasmus karya Desiderius Erasmus (1985)
n)      Multatuli yang Penuh Teka-Teki karya Willem Frederik Hermans (1988)

Karya Lainnya

A.     Surat-Surat 1943-1983, kumpulan surat (1984)
B.     Darah Laut: Kumpulan Cerpen dan Puisi (1997)
C.     Omong-Omong H.B. Jassin (Perjalanan ke Amerika 1958-1959), otobiografi (1997)

Penghargaan

Atas jasa-jasanya di bidang kebudayaan, Jassin menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969.
Tanggal 26 Januari 1973 Jassin menerima Hadiah Martinus Nijhoff dari Prins Bernhard Fonds di Den Haag, Belanda. Hadiah ini diberikan untuk jasa Jassin menerjemahkan karya Multatuli, Max Havelaar (Jakarta: Djambatan 1972).
Untuk menghormati jasanya di bidang sastra Indonesia, tanggal 14 Juni 1975 Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepada Jassin.
Atas jasa-jasanya di bidang kesenian dan kesusastraan, Jassin menerima Hadiah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1983.
Pada tahun 1987 dia mendapatkan hadiah Magsaysay dari Yayasan Magsaysay, Filipina.
Pada tahun 1994 dia dianugerahi Bintang Mahaputera Nararaya oleh Pemerintah RI.

Wafat

H.B. Jassin meninggal dunia pada hari Sabtu, 11 Maret 2000 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam usia 83 tahun. Ia meninggalkan empat anaknya yaitu Hannibal Jassin, Mastinah Jassin, Julius Firdaus Jassin, Helena Magdalena Jassin 10 orang cucu dan 1 orang cicit. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta.

10.  Sutardji Calzoum Bachri 
            Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, pada 24 Juni 1941. Ia adalah anak kelima dari sepuluh orang bersaudara. Pada tahun 1982, ia  menikah dengan seorang gadis pilihannya bernama Maryam Linda.

Pendidikan
Sutardji memulai pendidikan dasarnya di SD, SMP, SMA dan kemudian melanjutkan ke  Fakultas Sosial Politik (Sospol), Jurusan Administrasi Negara, Universitas  Padjadjaran Bandung, namun tidak selesai. Selain menempuh jalur pendidikan  formal, Sutardji juga telah mengikuti berbagai program pendidikan non-formal  seperti: peserta Poetry Reading International di Rotterdam (tahun 1974) dan mengikuti International  Writing Program di IOWA City Amerika Serikat selama satu tahun (tahun 1975).  Ia juga pernah mengikuti penataran P4 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tahun  1984, dan lulus sebagai peringkat pertama dalam 10 terbaik.

Mulai menulis

Sutardji  mulai menulis di media cetak sejak berumur 25 tahun. Pada tahun 1971, sajaknya  berjudul “O” yang merupakan kumpulan puisinya yang pertama, muncul di majalah  sastra. Pada tahun berikutnya, di majalah yang sama, karyanya  berjudul “Amuk” kembali dimuat.

Sutardji Calzoum Bachri pernah bekerja sebagai  redaktur di majalah sastra Horison dan majalah mingguan Fokus. Bahkan, sejumlah sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh  Harry Aveling dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters  in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend  jaar levennegen moderne Indonesische dichters (tahun 1979).

Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.

Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.

Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam(Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.

O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.

Karya-karya

Kumpulan  sajak:
·          O, diterbitkan oleh Yayasan Indonesia (tahun  1971)
·          Kucing, diterbitkan oleh Sinar  Harapan (tahun 1973)
·         Amuk (tahun 1977)
·         O, Amuk, Kapak, antologi, diterbitkan  oleh Sinar Harapan (tahun 1981)
·         Aku Datang Padamu
·         Perjalanan Kubur David  Copperfield.
·         Realites’90 Tanah Air  Mata

Penghargaan
·         Anugerah Seni, dari Pemerintah Republik Indonesia (tahun 1990)
·         Anugerah Seni  atas karyanya berjudul Amuk, dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) (tahun  1977)
·         Anugerah Sastra Chairil Anwar  (tahun 1998)
·         Anugerah Sastra Asia Tenggara (South East Asia Writer Awards), dari Ratu Sirikit (tahun 1979). 
·         Seniman  Perdana, dari Dewan Kesenian Riau (tahun 2001).
·         Sebagai Pelopor Penyair  Angkatan “70.”

11.  Hasan Asphani
         Hasan Aspahani (lahir di Handil BaruKalimantan Timur9 Maret 1971; umur 47 tahun), adalah seorang penyair Indonesia, yang berasal dari Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Bukunya Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering mendapatkan penghargaan sebagai Buku Puisi Terbaik Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016.
Aspahani lahir pada sebuah keluarga sederhana petani kelapa. Dia bersekolah di SMAN 2 Balikpapan, sambil bekerja sebagai kartunis lepas di Surat Kabar Manuntung (Sekarang Surat Kabar Harian Kaltim Post). Setelah lulus SMA melanjutkan kuliah melalui jalur Penelusuran Minat dan Bakat Keahlian (PMDK) di Institut Pertanian Bogor (IPB). Sambil kuliah dia terus menulis puisi.
Setelah lulus dan menjadi sarjana pertanian, dia sempat bekerja di beberapa perusahaan. Kemudian dia bekerja sebagai wartawan hingga menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi di Surat Kabar Harian Batam Pos. Istrinya bernama Dhiana, yang biasa disapanya Na' dan dan dua orang anak, Shiela dan Ikra.
Beberapa puisinya pernah terbit di Surat Kabar Jawa Pos (Surabaya), Surat kabar Riau Pos (Pekanbaru), Surat Kabar Batam Pos (Batam), Sagang 2000 (Yayasan Sagang, Pekanbaru, 200) Antologi Puisi Digital Cyberpuitika (YMS, Jakarta 2002), dan Dian Sastro for President 2 #Reloaded (AKY, Yogyakarta, 2003). Puisi Huruf-huruf Hattater dipilih sebagai salah satu dari 10 puisi terbaik lomba puisi 100 Tahun Bung Hatta (KPSP, Padang, 2002), dan Les Cyberletress (YMS, 2005). Hasan Aspahani juga menjadi kartunis koran Pos Metro Balikpapan yakni sebuah kartun strip komik dengan tokoh utama "si Jeko" tukang ojek dengan kelucuannya.
12.  Umbu Landu Paranggi 



Umbu Landu Paranggi (lahir di Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur10 Agustus 1943; umur 75 tahun) adalah senimanberkebangsaan Indonesia yang sering disebut sebagai tokoh misterius dalam dunia sastra Indonesia sejak 1960-an. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa esai dan puisi yang dipublikasikan di berbagai media massa. Umbu merupakan penyair sekaligus guru bagi para penyair muda pada zamannya, antara lain Emha Ainun NadjibEko TunasLinus Suryadi AG, dan lain-lain.
        
Pada tahun 1970-an Umbu membentuk Persada Studi Klub (PSK), sebuah komunitas penyairsastrawanseniman yang berpusat di Malioboro Yogyakarta. PSK, di kemudian hari dikenal sebagai salah satu komunitas sastra yang sangat mempengaruhi perjalanan sastrawan-sastrawan besar di Indonesia. Walaupun dikenal sebagai "Presiden Malioboro", ia sendiri seperti menjauh dari popularitas dan sorotan publik. Ia sering menggelandang sambil membawa kantung plastik berisi kertas-kertas, yang tidak lain adalah naskah-naskah puisi koleksinya. Orang-orang menyebutnya "pohon rindang" yang menaungi bahkan telah membuahkan banyak sastrawan kelas atas, tetapi ia sendiri menyebut dirinya sebagai "pupuk" saja. Umbu pernah dipercaya mengasuh rubrik puisi dan sastra di Mingguan Pelopor Yogya. Hari tuanya dihabiskan tinggal di Bali, sembari mengasuh rubrik Apresiasi di Bali Post.Kamu boleh mengidolakan seseorang, tetapi jadilah dirimu sendiri".kutipan dari Umbu Landu Paranggi.

13.   Suwarna Pragolapati
Ragil Suwarna Pragolapati (lahir di Pati, 22 Januari 1948 - menghilang di Parangtritis, Yogyakarta, pada 15 Oktober 1990) adalah seorang sastrawan.Selain dikenal sebagai seorang sastrawan ia dikenal sebagai dokumentator sastra yang gigih, tekun, dan berdedikasi.
Ragil Suwarna Pragolapati, terlahir dengan nama Warna, nama khas jawa, namun karena sejak SD hingga SMA berprestasi, sehingga mendapakan tambahan nama-nama dari guru-gurunya. Lulus SMA 1 PATI, Ragil Suwarna Pragolapati menjadi lulusan terbaik di Kabupaten, sehingga setelah lulus SMA di Pati, hijrah ke Yogyakarta karena mendapatkan failitas diterima di Universitas Gadjah Mada melalui jalur prestasi, kemudian dipilhlah studi di Fakultas Ekonomi (1967-1971) dan Fakultas sastra (1972) di (Universitas Gajah Mada) namun, keduanya tidak selesai karena terjadi pergolakan mahasiswa.
Membangun budaya Yogya lewat jalur seni, bersama Umbu Landu Parangggi, Imam Budhi Santosa, dan Teguh Ranusastra Asmara dan yang lainnya, mendirikan Persada Studi Klub (PSK) pada tanggal 5 Maret 1969.[2] Ia pernah ditahan (tanpa proses pengadilan) pada awal Orde Barukarena melakukan demonstrasi. Ia pernah menjadi redaktur majalah remaja Semangat dan Ketua Sindikat Pengarang Yogyakarta.[2] Ketika dia meninggalkan, ia meninggalkan ribuan puisi, sejumlah novel, kumpulan cerita pendek, esai, cerita anak-anak, dan karya dalam bahasa Jawa. Bahkan tulisannya banyak dimuat dalam surat kabar , seperti : Horison, Basis, Kedaulatan Rakyat, Eksponen, Minggu Pagi, Pelopor Yogya, Kawanku, Aktuil, Semangat, dan lain-lain.[2] Karyanya yang sudah dibukukan adalah : Antologi Alit, Tiga Bayangan, Bulaksumur Malioboro, Empat Penyair Yogya, Antologi Free, Titising Kedurakan, Keglandhang Wirang, Melawan Hantu, Kuda Garang di Bumi Gersang, Penyair Tiga Generasi, Jalan Berlumpur, Sidharta Gautama, Suaka Diri.[2] Seumur hidupnya setidaknya 60 karya telah diciptakan.

Ragil Suwarna Pragolapati pernah mendapatkan penghargaan atas karyanya dari Menteri Keuangan Radius Prawiro, juga menerima penghargaan seni dari Pemerintah Daerah Provinsi Yogyakarta, melalui Gubernur Sri Sultan Hamengkuwono X.Ragil Suwarna Pragolapati meninggalkan 2 anak dan 1 istri. Istri Menik Sugiyah Kartamulya, anak pertama laki Ipan Pranashakti Khudi Iswara, anak kedua perempuan Ririen Pranabuwani Khudi Iswari, keduanya sudah berhasil melanjutkan studi di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

14.  Imam Budhi Santosa

Iman Budhi Santosa (lahir di MagetanJawa Timur28 Maret 1948; umur 70 tahun), yang umumnya dikenal sebagai IBS, adalah seorang penulis Indonesia yang berbasis di Yogyakarta. IBS dididik dalam bidang pertanian namun mengembangkan kemampuan sastra dari usia muda. Pada 1969, ia membantu pendirian Persada Studi Klub, kemudian menerbitkan sejumlah karya, yakni kumpulan puisi, novel, dan cerita pendek. Puisinya dianggap memiliki pengaruh budaya Jawa yang kuat.
      sebagai anak tunggal dari pasangan Iman Sukandar dan Hartiyatim. Keluarganya tinggal di Kauman, Magetan, Jawa Timur, sampai orangtua IBS bercerai ketika ia berusia 18 bulan. IBS tinggal dengan ibunya dan kakeknya di Magetan. Ia kemudian menganggap masa kecilnya kurang bahagia dengan menyatakan bahwa ibunya dan kakeknya – seorang mantan kepala sekolah – menginginkan ia berfokus pada pembelajaran, ketimbang olahraga seperti anak-anak lainnya. Akibatnya, ia menjadi teisolasi dari anak-anak seusianya.
      IBS menyelesaikan sekolah dasar pada 1960; pada waktu itu, ibunya menikah lagi dengan penulis berbahasa Jawa Any Asmara. Keluarganya melanjutkan hidup di Magetan sampai setelah IBS menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertamanya, ketika mereka berpindah ke Yogyakarta. Disana, ia belajar di sekolah vokal yang dijalankan oleh Yayasan Dana Pendidikan Perkebunan Muja-Muju, lulus pada 1968
      Berikut ini adalah daftar pustaka yang berasal dari Santosa (2015b). Selain karya-karya sastra yang dimasukkan disini, IBS juga menerbitkan buku-buku teks tentang pertanian dan budaya Jawa. Beberapa karyanya dikompilasikan dalam antologi.
Tiga Bayangan (puisi antologi; 1970)
·         Ranjang Tiga Bunga (novel; 1975)
·         Bayang Kertapati (novel; 1976)
·         Dunia Semata Wayang (puisi; 1996)
·         Kalimantang (kumpulan cerita pendek; 2003)
·         Matahari-Matahari Kecil (puisi; 2004)
·         Perempuan Panggung (novel; 2007)
·         Ziara Tanah Jawa (puisi; 2013)
·         Sesanti Tedhak Siti (geguritan; 2015)

Kutipan karya
·         "Iman Budi Santosa" (dalam bahasa Indonesian). Language Center. 6 May 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 February 2015. Diakses tanggal 3 June 2015.
·         Rampan, Korrie Layun (2000). Leksikon Susastra Indonesia. Jakarta: Balai PustakaISBN 978-979-666-358-3.
·         Salam, Aprinus (2004). Oposisi Sastra Sufi (dalam bahasa Indonesian). Yogyakarta: LKiS. ISBN 978-979-3381-64-0.
·         Santosa, Iman Budhi (2015a). Ziarah Tanah Jawa (dalam bahasa Indonesian). Yogyakarta: Interlude. ISBN 978-602-71899-1-1.
·         Santosa, Iman Budhi (2015b). Sesanti Tedhak Siti (dalam bahasa Javanese). Yogyakarta: InterludeISBN 978-602-71899-8-0.
·         Setiadi, Tia (July 2013). "Jawa, Juggernaut, dan Alam Sebagai Tembang: Tentang Ziarah Tanah Jawa, Karya Iman Budhi Santosa". PoetikaI (1): 96–106ISSN 2338-5383.
·         Santoso, Joko (2013). "Dudu Sanak Dudu Kadang Yen Mati Melu Kelangan". Dalam Suharmono; Anis Mashlihatin. Dialog: Setahun Diskusi Puisi (dalam bahasa Indonesian). hlm. 35–41ISBN 978-602-96825-2-6.
·         Sujatmiko, Tomi (1 June 2015). "Harus Kembali Belajar Jadi Orang Jawa". Kedaulatan Rakyat (dalam bahasa Indonesian). hlm. 1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 June 2015. Diakses tanggal 3 June 2015.
15.  Dorothea Rosa Herliany
             Dorothea Rosa Herliany ia lahir di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963. Setelah tamat Sekolah Dasar Tarakanita Magelang, Dorothea melanjutkan ke SMP Pendowo Magelang. Setelah itu, Dorothea melanjutkan ke SMA Stella Duce Yogyakarta. Lulus dari SMA Dorothea meneruskan ke IKIP Sanata Dharma Yogyakarta. Dorothea Rosa Herliany pernah menjadi wartawan dan guru.
             Ia juga pernah menghadiri pertemuan sastrawan muda Asean di Filipina (1990) dan menjadi peserta dalam Festival Puisi Indonesia Belanda di Jakarta dan Rotterdam, Negeri Belanda (1985). Sebagai seorang penulis, Dorothea telah menulis sejak tahun 1985 di berbagai majalah dan surat kabar, antara lain di Horison, Basis, Dewan Sastra (Malaysia), Suara Pembaharuan, Mutiara, Pikiran Rakyat, Surabaya Post, Jawa Pos, Citra Yogya, Kompas, Media Indonesia, Sarinah, Kalam, Republika, Pelita.
            Sebagai seorang sastrawan, Dorothea mempunyai peranan yang cukup penting. Hal itu terlihat dari karya-karyanya yang hampir selalu mengutamakan tanggapan penulis lain. Korrie Layun Rampan mengatakan bahwa Dorothea merupakan penyair yang sangat mengejutkan karena produktivitasnya yang luar biasa.
            Hampir semua media masa yang memiliki ruang sajak selalu memuat sajaknya. Begitu pula cerita pendek, esai, dan laporan budaya yang ditulisnya cukup menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan lain di luar dunia sajak. Wawasannya yang cukup luas dan visi kepenyairannya yang mantap telah mengukuhkan dirinya sebagai penyair yang mempunyai masa depan yang cerah. Beberapa puisinya mengandung suatu gerak hidup, percikan api yang berpijar, tetapi dalam pengucapannya terasa dingin dan asosiasinya yang begitu cepat bersilangan membawa imajinasi berpacu untuk mengejar makna imajinatif. Sebagai puisi imagis, sajak-sajak Dorothea menunjukkan sifat lirik yang khas, yaitu lirik prosa.
            Ia mendirikan Forum Ritus Kata dan menerbitkan berkala budaya Kolong Budaya. Pernah pula membantu harian Sinar Harapan dan majalah Prospek di Jakarta. Kini ia mengelola penerbit Tera di Magelang.
Karya
A.     Kumpulan sajak:
1.      Nyanyian Gaduh (1987)
2.      Matahari yang Mengalir (1990)
3.      Kepompong Sunyi (1993)
4.      Nikah Ilalang (1995)
5.      Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999)
6.      Kill the Radio (Sebuah Radio, Kumatikan; edisi dwibahasa, 2001)

B.     Kumpulan cerpen:
·         Blencong (1995)
·         Karikatur (1996).
·         Sepotong Cinta (1996)
Penghargaan:
a.       Pemenang I penulis puisi Chairil Anwar di IKIP Sanata Dharma tahun 1981
b.      Pemenang I penulisan puisi Dies Natalis IKIP Sanata Dharma tahun 1985
c.       Pemenang I penulisan puisi di Institut Filsafat dan Theologia (IFT) Yogyakarta tahun 1985
d.      Pemenang I penulisan esai tahun 1986, Minister of Environment Award for best environment tahun 1994
e.       Penghargaan kesusastraan dari Asosiasi Wartawan Jawa Tengah Indonesia tahun 1995
f.       Pemenang II sayembara kumpulan puisi terbaik PKJ TIM tahun 1998
g.       Puisi terbaik “Mimpi Gugur Daun Zaitun” dari Dewan Kesenian Jakarta tahun 2000
h.      Nominator The Khatulistiwa Literary Award sajak “Kill The Radio” tahun 2003
i.        Penulis terbaik dari Pusat Bahasa Indonesia tahun 2003
j.        Penghargaan seni dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI tahun 2004
k.      The Khatulistiwa Literary Award karya “Santa Rosa” tahun 2006.

16.  Agus Noor


Agus Noor (lahir di Tegal, Jawa Tengah, 26 Juni 1968; umur 50 tahun) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Agus Sejak muda, Agus Noor telah berkecimpung di dunia sastra dengan menulis karya-karya puisi dan prosa. Dia merupakan penulis naskah untuk program Sentilan Sentilun Metro TV yang diadopsi dari naskah monolognya, Matinya Sang Kritikus, yang sebelumnya telah dipentaskan di sejumlah kota oleh Butet Kertaradjasa.
Agus Noor lahir dan dibesarkan di Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal. Berlatar belakang pendidikan Jurusan Teater, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Meskipun berlatar belakang pendidikan teater, ia aktif menulis. Dia dikenal sebagai cerpenis, penulis prosa, dan naskah panggung dengan gaya parodi yang terkadang satir. Monolog Matinya Toekang Kritik adalah salah satu karyanya yang menertawakan keadaan Indonesia. Naskah ini, kemudian diusung sebagai program Sentilan Sentilun yang ditayangkan oleh stasiun televisi Metro TV.[3]
                        Karya
Bersama Ayu Utami, ia menulis naskah Sidang Susila untuk merefleksikan dan mengkritik Rancangan Undang Undang Anti-Pornografi. Selain menulis prosa, ia juga menulis cerpen. Karya cerpennya dimuat dalam Antologi Ambang (1992), Pagelaran (1993), Lukisan Matahari (1994). Sedangkan cerpen-cerpennya yang terhimpun dalam antologi bersama, di antaranya Lampor (Cerpen Pilihan Kompas, 1994), Jalan Asmaradana (Cerpen Pilihan Kompas, 2005), Kitab Cerpen Horison Sastra Indonesia (Majalah Horison dan The Ford Foundation, 2002), dan Dari Pemburu ke Tapuetik (Majelis Sastra Asia Tenggara dan Pusat Bahasa, 2005)
Buku-buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit antara lain, Memorabilia (Yayasan untuk Indonesia, 1999), Bapak Presiden yang Terhormat (Pustaka Pelajar, 2000), Selingkuh Itu Indah (Galang Press, 2001), Rendezvous: Kisah Cinta yang Tak Setia (Galang Press, 2004), Potongan Cerita di Kartu Pos (Penerbit Buku Kompas, 2006), Sebungkus Nasi dari Tuhan, Sepasang Mata Penari Telanjang, Matinya Toekang Kritik (Lamalera, 2006), Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (Bentang, 2010), Cerita Buat Para Kekasih (Gramedia Pustaka Utama, 2015). Cerpen-cerpennya pernah dimasukkan oleh Korie Layun Rampan sebagai sastrawan angkatan 2000. Buku terbaru yang disusun berjudul Cerpen-cerpen Terbaik Indonesia, merangkum tentang penerbitan cerpen dari Idrus hingga Seno Gumira Ajidarma.
Penghargaan
·         Juara I penulisan cerpen pada Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) (1991)
·         Cerpenis terbaik pada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) IV (1992)
·         Anugerah Cerpen Indonesia yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta untuk tiga cerpennya, Keluarga Bahagia, Dzikir Sebutir Peluru, dan Tak Ada Mawar di Jalan Raya(1999)
·         Karya terbaik Majalan Horison selama kurun waktu 1990-2000
·         Anugerah Seni dari Mentri Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpennya, Piknik (2006)
17.  Agus R. Sarjono
Agus R. Sarjono (lahir di Bandung, Jawa Barat, 27 Juli 1962; umur 56 tahun) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal sebagai penyair, novelis, dan penulis esai sastra yang dimuat di berbagai media massa. Agus telah mementas karya-karyanya di berbagai negara.
Pada 1988, Ia lulus dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS), IKIP Bandung, kemudian menyelesaikan program pasca sarjana di Jurusan Kajian Sastra, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Indonesia pada 2002[1]. Agus adalah Ketua Bidang Program Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2003-2006. Sebelumnya ia adalah Ketua Komite Sastra DKJ periode 1998-2001. Sehari-hari­nya Agus bekerja sebagai pengajar pada Ju­rus­­an Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Ban­dung, serta men­­jadi redaktur Majalah Sastra Horison.

Pada Februari hingga Oktober 2001, Agus tinggal di Leiden, Belanda sebagai poet in residence atas undangan Poets of All Nations (PAN) serta peneliti tamu pada International Institute for Asian Studies (IIAS)[2], Universitas Leiden. Ia juga pernah diundang sebagai penyair tamu di Heinrich Böll Haus, Langenbroich, Jerman sejak Desember 2002 hingga Maret 2003. Selain menulis dan menerbitkan karyanya sendiri, Agus bersama Berthold Damshäuser menjadi editor beberapa buku kumpulan puisi sastrawan besar Jerman seperti Rilke, Bertolt Brecht, Paul Celan, Johann Wolfgang von Goethe, dan Hans Magnus Enzensberger[3].

Semasa kuliahnya di IKIP Bandung, Agus terlibat aktif dalam kelompok diskusi Diskusi Lingkar yang mendiskusikan berbagai isu sosial, politik, budaya, dan ekonomi pada masa Orde Baru. Pada tahun 1987 Agus terlibat dalam pendirian Unit Pers Mahasiswa IKIP Bandung sekaligus menjadi Ketua Umum hingga tahun 1989.
                        Karya
A.     Puisi
Kenduri Airmata (1994, 1996)
        i.            A Story from the Country of the Wind (edisi Bahasa Inggris, 1999, 2001)
      ii.            Suatu Cerita dari Negeri Angin (2001, 2003)
    iii.            Frische Knochen aus Banyuwangi (edisi Bahasa Jerman, diterjemahkan oleh Berthold Damshäuser dan Inge Dumpél, 2003)
    iv.            Diterbangkan Kata-kata (2006)
      v.            Kopi, Kretek, Cinta (2013)
B. Antologi Puisi
v  Tangan Besi, Antologi Puisi Reformasi (1998)
b.      Esai
·         Bahasa dan Bonafiditas Hantu (2001)
·         Sastra dalam Empat Orba (2001)
C . Drama
Ø  Atas Nama Cinta (2004)
Sebagai Editor
ü  Saini KM: Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993)
ü  Catatan Seni (1996)
ü  Kapita Selekta Teater (1996)
ü  Pembebasan Budaya-budaya Kita (1999)
ü  Dari Fansuri ke Handayani (2001)
ü  Horison Sastra Indonesia 1-4 (2002), Horison Esai Indonesia 1-2 (2003)
ü  Rilke: Padamkan Mataku (Kumpulan Puisi, 2003)
ü  Bertolt Brecht: Zaman Buruk Bagi Puisi (Kumpulan Puisi, 2004)
ü  Malam Sutra: Sitor Situmorang (2004)
ü  Paul Celan: Candu dan Ingatan (Kumpulan Puisi, 2005)
ü  Teater tanpa Masa Silam (2005)
ü  Poetry and Sincerity (2006)
ü  Johann Wolfgang von Goethe: Satu dan Segalanya (Kumpulan Puisi, 2007)
ü  Hans Magnus Enzensberger: Coret Yang Tidak Perlu (Kumpulan Puisi, 2009)
ü  Friedrich Nietzsche: Syahwat Keabadian (Kumpulan Puisi, 2010)
Pencapaian
  • Asean Writers Conference, Manila (1995)
  • Istiqlal International Poetry Reading, Jakarta (1995)
  • Ipoh Arts Festival III, Negeri Perak, Malaysia (1998)
  • The Netherlands-Indonesian Poetry Night di Erasmus Huis, Jakarta (1998)
  • Festival de Winternachten", Den Haag (1999 and 2005)
  • Poetry on the Road", Bremen (2001)
  • Internationales Literaturfestival Berlin (2001)
  • The Dubai International Poetry Festival (2009)

18.  Tjahjono Widijanto.
     
      Tjahjono Widijanto  lahir di Ngawi, 18 April 1969. Pendidikan terakhir Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. IKIP Negeri Malang (sekarang Universitas Negeri Malang).Dia Profesi sebagai Sastrawan (Penyair/esais)
                 
Prestasi/Pengalaman : 1) Pemenang Pertama (2) Lomba Mengulas karya

Sastra Tingkat Nasional Tahun 2002 yang diadakan oleh Majalah Sastra Horison, Depdiknas dan Ford Foundantion. Dengan judul makalah: Estetika Bahasa dan Kosmologi Jawa dalam Asmaradana karya Goenawan Mohamad

2) Pemenang Kedua (II) Sayembara Kritik Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2005. Dengan judul makalah: “Cala Ibi”: Novel Kontemplatif Meditatif Sufistik dari Pulau Ternate.

3) Pada tahun 1996 diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan karya (puisi) pada acara Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki Jakarta

    4) Pada tahun 2004 untuk kedua kalinya diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan karya di Taman Ismail Marzuki (TIM) dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia 2005.
   5) Pada tahun 2005 kembali diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk mengikuti Simposium Kritik Seni sekaligus menerima penghargaan sebagai Pemenang Kedua Sayambara Kritik Sastra Nasional yang diadakan DKJ.

Pemenang kedua (II) Lomba Mengulas Karya Sastra th. 2005 (Depdiknas dan majalah Horison) dengan judul makalah: Konsep-konsep Spritualisme Timur Dalam Kumpulan Cerpen Godlog karya Danarto.

 Salah satu finalis Lomba Lingkungan Hidup (PKLH) tingkat Nasional th. 2005 di Jakarta dengan judul makalah: “Membangun Kota Berwawaskan Humanisme Ekologis”

 Salah satu cerita pendeknya berjudul “Coro” menjadi salah satu nominasi LMCP (Lomba Menulis Cerita Pendek) 2003, yang diadakan oleh Horison dan Depdiknas.

 Pada tahun 1996 dinobatkan sebagai salah satu Penyair Pilihan Jawa Timur versi Bengkel Muda Surabaya.

Aktivitas dan Produktivitas : Menulis puisi, eseai, dan cerpen di berbagai Jurnal, Majalah dan Koran di luar negeri dan di dalam negeri. Antara lain: Jurnal PERISA Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, Bahana (Brunei Darusasalam),Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi, Jurnal Perempuan, Majalah sastra HORISON, Kompas, Media Indonesia, Matra Suara Pembaruan, Matra, Suara Karya, Jawa Pos, Surabaya Pos ,Surya, Lampung Pos, Bali Pos, dll.

-Pada tahun 1988 Mendirikan Majalah Kebudayaan IKLIM yang terbit di Malang
sekaligus menjadi salah satu Redakturnya (1989-1990).

-Aktif berteater bersama teater Ideot Malang dari th. 1987-1994

-Ikut memprakarsai berdirinya Majalah Kebudayaan Kalimas Surabaya dan menjadi salah satu Redakturnya (1992-1994)

-Ikut mendirikan majalah kebudayaan Lontar di Ngawi sekaligus menjadi salah satu redakturnya (1996-2004).
-Ikut mendirikan Studi Lingkar Sastra Tanah Kapur Ngawi, dan aktif sebagai penggeraknya hingga sekarang (1995-sekarang)

Menjadi pendiri dan ketua kelompok teater Zat Ngawi (1998-sekarang).
Buku-buku yang dihasilkan : Puisi Tak Pernah Pergi (Kompas, 2003), Angkatan 2000 Dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2000), Ekstase Jemari (1995,: antologi tunggal), Dunia Tanpa Alamat (DKJT, 2003—antologi tunggal). Birahi Hujan (Dewan Kesenian Jakarta dan Logung Pustaka, 2004), Mimbar Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, Jakarta 1996), Bapaku Telah Pergi: Antalogi Penyair Pilihan jawa Timur (Surabaya, 1995), Akulah Ranting (Dioma, Malang 1996), Antologi Cerpen dan Puisi Indonesia Modern: Gerbang (Pustaka Pelajar, Jogyakarta 1997), Memo Putih (DKJT, 2000), Keajaiban Bulan Ungu (DKS, 2000), Apa kabar Sastra? (Kumpulan Eseai, DKJT, 2002). Tegak Lurus dengan Langit (Kumpulan artikel Pemenang Lomba Mengulas karya sastra Nasional, 2002), Dunia Bayang-bayang (Surabaya, 1995), Antologi Sastra Kepulauan (DKSS: 1999), dll.

19.   Avianti Armand

          Avianti Armand (lahir di Jakarta, 12 Juli 1969; umur 49 tahun) adalah seniman berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui sejumlah karyanya berupa puisi yang dipublikasikan di beberapa media massa. Selain menulis, dia juga berprofesi sebagai arsitek dan dosen tamu di Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia dan Disain Interior, Fakultas Disain Interior Universitas Pelita Harapan. Avianti Armand merupakan salah satu penerima Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori Puisi melalui karyanya, Perempuan yang Dihapus Namanya, pada tahun 2011.
         Sejak usia muda, dia sudah mengakrabi dunia kesenian dengan menulis karya sastra berupa puisi yang dipublikasikan di berbagai media massa. Selain menulis, Avianti Armand juga berprofesi sebagai arsitek sejak tahun 1992. Disain rumah tinggalnya, bahkan memenangi Penghargaan IAI (Ikatan Arsitek Indonesia), pada tahun 2008. Pada tahun 2010 dia menggagas bengkel kerja dan pameran arsitektur dan kota bertajuk Ruang Tinggal Dalam Kota yang diselenggarakan di Komunitas Salihara. Tahun itu pula dia ditunjuk sebagai kurator Pameran Arsitek Muda Indonesia. Di tahun 2015, Avianti Armand mengetuai Komite Desain di pameran buku internasional Frankfurt.

Sejak tahun 2008, produktivitas Avianti di dunia tulis-menulis semakin meningkat dengan menulis fiksi, puisi, dan artikel mengenai arsitektur. Kumpulan cerita pendeknya yang pertama, terbit tahun 1999 dengan judul Negeri Para Peri. Salah satu cerita dalam buku tersebut memenangi Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas pada tahun 2009. Kumpulan puisinya yang berlatar belakang kitab suci Perjanjian Lama berjudul Perempuan yang Dihapus Namanya, terbit tahun 2010 dan memenangi Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori Puisi, bersama Arafat Nur melalui karyanya, Lampuki (fiksi) dan Nirwan Dewanto melalui karyanya, Buli-Buli Lima Kaki (puisi), pada tahun 2011.

20.  Paul Klee

Paul Klee (pengucapan dalam bahasa Jerman, lahir 18 Desember 1879 – meninggal 29 Juni 1940) adalah seorag seniman lukis yang lahir di Münchenbuchsee,Switzerland yang merupakan daerah Swiss German.Gaya seni lukisnya sangat dipengaruhi gerakan gaya lukis ekspresionisme, kubisme, dan surealisme. Dia juga belajar seni lukis aliran orientalisme. Klee merupakan pelukis yang senantiasa bereksperimen dan mendalami teori warna, dan secara ekstensif menulis banyak mengenai teori tersebut.Buku teorinya yang berjudul Writings on Form and Design Theory (Schriften zur Form und Gestaltungslehre), diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Paul Klee Notebooks, adalah sebuah buku acuan seni modern yang setara dengan A Treatise on Painting karya Leonardo da Vinci.Dia dan rekanya, ahli seni lukis Rusia Wassily Kandinsky, belajar di sekoleh seni, desain, dan arsitektur Jerman Bauhaus.[2] Karyanya merefleksikan gaya lawakannya dan terkadang mengandung perspektif kekanakan, pandangan dan kepercayaan pribadi, dan juga gaya musikalitasnya.

Karya terkenal
                                              
·         lebih dari 10,000 lukisan, gambar, and sketsa, termasuk
·          Twittering Machine (1922),     
·         Fish Magic (1925),
·         Viaducts Break Ranks (1937).