Bagian 2
SEBUAH NAMA,
SEBUAH CERITA
(Menyikap
Maksud Pencantum Nama dalam Puisi)
Kata-kata yang sukar dimengerti :
1. Nasakom :Nasionalisme, Agama, dan Komunisme
(disingkat: Nasakom) adalah konsep politik
yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno di Indonesia,
serta merupakan ciri khas dari
Demokrasi Terpimpin.
2. Prestisius : Berkenaan dengan
prestise.
3. Menekuri : Memandang kebawah.
4. Termanifestasikan :Terwujud ( dapat dilihat dengan mata).
5 Pungtuasi : Tanda grafis yang digunakan secara konvensional untuk
memisahkan pelbagai bagian dari satuan bahasa
tertulis; tanda baca.
6. Mendedah : Membuka , menyingkapkan.
7. Sanad : Sandaran, hubungan,
atau rangkaian perkara yang dapat dipercayai.
8. Patron : Suri (teladan).
9. Purna : Penuh; selesai.
10. Stagnan : Dalam keadaan
terhenti.
11. Musykil : Bentuk tidak baku dari “
Muskil” yang artinya sukar sulit ; pelik
12. Montase : Kompilasi gambar yang
dihasilkan dari pencampuran unsur beberapa sumber, Karya sastra, musik, atau
seni yang terjadi dari bermacam-macam unsur.
13. Rublik : Kepala karangan
(ruangan tetap) dalam surat kabar, majalah, dan sebagainya.
14. Etos : Pandangan hidup
yang khas dari suatu golongan sosial.
15. Kapitalistik :
Bersifat kapital, berkenaan dengan sistem kapitalisme.
16. Nihilis :
Pengikut paham nihilisme.
17. Ejawantah :
Jelma
18. Keranjingan :
Tergila-gila; gemar sekali.
19. Langgam :
Gaya; model; cara;adat atau kebiasaan.
20. Signifikan :
Penting; berarti.
21. Menakrifkan
: Memberitahukan;
menyatakan; menentukan; mendefisikan.
22. Mercusuar :
Sesuatu yang dipakai untuk memperoleh nama dan untuk bergagah-gagah.
23. Beraksentuasi :
Penggutamaan; penitikberatkan; penekanan.
24. Surealis : Orang yang menganut
aliran surealisme.
25. Eksplisit :
Terus terang dan tidak berbelit- belit.
26. Klise :
Gagasan (ungkapan) yang terlalu sering dipakai; tiruan; hasil meniru.
27. Berkelit :Berdalih;
beralasan.
28. Gubahan :Karangan.
29. Kanon :
Karya dramayang dianggap ciptaan asli seorang penulis.
30. Metafor :
Perbandingan.
31. Epitaf :Tulisan
singkat pada batu nisan untuk mengenang orang yang dikubur
di situ.
32. Termaktub :Tertulis;
tercantum.
33. Bias :
Simpangan.
34. Estetika :Kepekaan
terhadap seni dan keindahan.
35. Intuitif :
Bersifat (secara) intuisi, berdasarkan bisikan (gerak) hati.
36. Imajiner :
Hanya terdapat dalam angan –angan (bukan sebenarnya).
37. Koheren :
Berhubungan; bersangkut paut.
38. Profan : Tidak bersangkutan
dengan agama atau tujuan keagamaan; lawan
sakral; kotor; tidak suci.
39. Keugaharian : Kesedarhanaan;
kesejahteraan.
40. Tendensi :
Kecenderungan; kecondongan.
41. Kenes :
Suka bergaya dan bertingkah laku dibuat-buat supaya menarik perhatian; genit; keletah.
42. Entitas : Satuan yang
berwujud; maujud.
43. Artifisial : Perihal tidak alami;
kepalsuan.
44. Pragmatis : Bersifat praktis dan
berguna bagi umum; bersifat mengutamakan segi
kepraktisan.kegunaan(kemanfaatan).
45. Aforisme : Peryataan yang padat dan
ringkas hidup atau kebenaran umumnya.
Menurut dari esai yang telah saya
baca berjudul Sebuah Nama, Sebuah Cerita di dalam esai tersebut menjelaskan
mengenai sikap dan pendapat seorang penyair dalam hal pencantuman nama dalam
sebuah puisi.Beberapa penyair mengungkapakan pendapatan mengenai penamaan tokoh
dalam sebuah puisi.Tokoh-Tokoh yang menyikapi penamaan di dalam sebuah puisi
antara lain:
1. Subagio Sastrowardoyo
Subagio
Sastrowardoyo dilahirkan di Madiun (Jawa Timur) tanggal 1 Februari 1924.
Ayahnya seorang pensiunan Wedana Distrik Uteran, Madiun, yang bernama Sutejo
dan ibunya bernama Soejati. Subagio menikah dan dikaruniai tiga orang anak. Ia
meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 18 Juli 1996 dalam usia 72 tahun.Adalah
seorang dosen, penyair, penulis cerita pendek dan esei, serta kritikus sastra
asal Indonesia. Selama bertahun-tahun, ia adalah direktur perusahaan penerbitan
Balai Pustaka.
Subagio
berpendidikan HIS di Bandung dan Jakarta, HBS, SMP, dan SMA di Yogyakarta,
Fakultas Sastra UGM selesai tahun 1958, Universitas Yale tahun 1961-1966.
Pernah menjabat Ketua Jurusan Bahasa Indonesia Kursus B-I di Yogyakarta
(1954-1958), dosen Kesustraan Indonesia di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM
(1658-1961), dosen UNPAD, dosen SESKOAD keduanya di Bandung, dosen bahasa dan
Kesusastraan Indonesia di Universitas Flinders, Adelaide, dan terakhir bekerja
di Penerbit Balai Pustaka. Pada musim panas 1984, ia juga pernah menjadi
seorang instruktur tamu di Universitas Ohio, dan mengajarkan bahasa Indonesia.
Karya
dari beliau sekitar tahun 1950-an, Subagio lebih menonjol sebagai pengarang cerpen
daripada seorang penyair. Cerpennya yang berjudul Kejantanan di Sumbing pernah
mendapatkan hadiah sebagai cerpen terbaik. Dalam cerpen dan sajak-sajaknya,
banyak dilukiskan manusia yang gampang dirangsang oleh nafsunya.
Manusia-manusia Subagio adalah manusia-manusia yang dalam mencoba
mempertahankan kewajiban tergoda oleh sifat-sifat kedagingannya.
Puisi-puisi
Subagio umumnya dipandang mempunyai bobot filosofis yang tinggi dan mendalam,
dan tidak dapat ditafsirkan secara harfiah. Perumpamaan dan lambang
digunakannya secara dewasa dan matang. Sajaknya yang berjudul Dan Kematian
Makin Akrab memenangkan Hadiah Horison untuk sajak-sajak yang dimuat tahun
1966-1967, dan tahun 1970 mendapatkan Anugerah Seni dari Pemerintah RI untuk
kumpulan sajaknya Daerah Perbatasan (1970).
Subagio
juga terjun dalam dunia kritik dan telaah sastra. Esei-eseinya banyak yang
mencoba menyelami latar persoalan manusia Indonesia sekarang secara jujur dan
tajam.Puisinya antara lain :
·
Simphoni (1957)
·
Daerah Perbatasan (1970)
·
Keroncong Motinggo (1975)
·
Buku Harian (1979)
·
Hari dan Hara (1982)
·
Kematian Makin Akrab (1995)
2. Chairil
Anwar
Chairil
Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 28
April 1949 pada umur 26 tahun), dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang"
(dari karyanya yang berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia berdarah
Minangkabau. Ia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama
Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor
Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia.
Chairil
lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta)
dengan ibunya pada tahun 1940, di mana ia mulai menggeluti dunia sastra.
Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus
menulis. Pusinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian,
individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Chairil
Anwar merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya
berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir
ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia masih punya pertalian
keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak
tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya. Namun, Chairil cenderung bersikap
keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun; sedikit cerminan dari
kepribadian orang tuanya.
Chairil
Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah
dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian
meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat
usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah.Chairil mengatakan bahwa
sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman.
Pada
usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah
ke Batavia (sekarang Jakarta) di mana ia berkenalan dengan dunia sastra; walau
telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya.Meskipun tidak dapat
menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti
Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca
karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H.
Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron.
Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak
langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.
Puisi Aku yang dipajang di tembok
di Leiden
Nama Chairil mulai terkenal dalam
dunia sastra setelah pemuatan puisinya yang berjudul Nisan pada tahun 1942,
saat itu ia baru berusia 20 tahun.[6] Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis
merujuk pada kematian.[6] Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di
majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap
terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran
Bersama Asia Timur Raya. Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta,
Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki
keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah
selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun
1945.Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6
Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun
bercerai pada akhir tahun 1948.
Vitalitas puitis Chairil tidak
pernah diimbangi kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah
penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ
(sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April
1949; penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena
penyakit TBC. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak,
Jakarta. Chairil dirawat di CBZ (RSCM) dari 22-28 April 1949. Menurut catatan
rumah sakit, ia dirawat karena tifus. Meskipun demikian, ia sebenarnya sudah
lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi yang menyebabkan dirinya makin
lemah, sehingga timbullah penyakit usus yang membawa kematian dirinya - yakni
ususnya pecah. Tapi, menjelang akhir hayatnya ia menggigau karena tinggi panas
badannya, dan di saat dia insaf akan dirinya dia mengucap, "Tuhanku,
Tuhanku..." Dia meninggal pada pukul setengah tiga sore 28 April 1949, dan
dikuburkan keesokan harinya, diangkut dari kamar mayat RSCM ke Karet oleh
banyak pemuda dan orang-orang Republikan termuka.Makamnya diziarahi oleh ribuan
pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai
Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw
menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema
menyerah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus".
Selama hidupnya, Chairil telah
menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi; kebanyakan tidak dipublikasikan
hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara Menderai Sampai
Jauh, ditulis pada tahun 1949,[4] sedangkan karyanya yang paling terkenal
berjudul Aku dan Krawang Bekasi.[5] Semua tulisannya baik yang asli,
modifikasi, atau yang diduga diciplak, dikompilasi dalam tiga buku yang
diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul Deru Campur Debu
(1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949),
dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai
Apin).
Karya tulis yang diterbitkan
ü Deru
Campur Debu (1949)
ü Kerikil
Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
ü Tiga
Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
ü "Aku
Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", disunting oleh Pamusuk
Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
ü Derai-derai
Cemara (1998)
ü Pulanglah
Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
ü Kena
Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck
Karya-karya Chairil juga banyak
diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Jerman, bahasa
Rusia dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya adalah:
Ø "Sharp
gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California,
1960)
Ø "Cuatro
poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid:
Palma de Mallorca, 1962)
Ø Chairil
Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New
Directions, 1963)
Ø "Only
Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New
Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969)
Ø The
Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh
Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
Ø The
Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock
Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
Ø Feuer und
Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina:
Octopus Verlag, 1978)
Ø The Voice
of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel
(Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)
Ø Dalam
Kumpulan "Poeti Indonezii" (Penyair-Penyair Indonesia). Terjemahan
oleh S. Semovolos. Moscow: Inostrannaya Literatura, 1959, № 4, hlm. 3-5; 1960,
№ 2, hlm. 39-42.
Ø Dalam
Kumpulan "Golosa Tryoh Tisyach Ostrovov" (Suara Tiga Ribu Pulau).
Terjemahan oleh Sergei Severtsev. Moscow, 1963, hlm. 19-38.
Ø Dalam
kumpulan "Pokoryat Vishinu" (Bertakhta di Atasnya). Puisi penyair
Malaysia dan Indonesia dalam terjemahan Victor Pogadaev. Moscow: Klyuch-C,
2009, hlm. 87-89.
Karya-karya
tentang Chairil Anwar
·
Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949,
diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian
Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)
·
Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and
his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
·
Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan
tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)
·
S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the
Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
·
Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah
Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976)
·
Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry
of Chairil Anwar, Auckland, 1976
·
H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan
'45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
·
Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar"
(Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
·
Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair
utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
·
Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup
dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
·
Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar"
(Jakarta: Obor, 1995)
·
Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil
Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)
·
Drama Pengadilan Sastra Chairil Anwar karya Eko
Tunas, sutradara Joshua Igho, di Gedung Kesenian Kota Tegal (2006).
Kontroversi
Puisi hasil karya Chairil sempat
dituduh sebagai hasil plagiarisme[10] oleh H.B Jassin. Dalam tulisannya pada
Mimbar Indonesia yang berjudul Karya Asli, Saduran, dan Plagiat ia membahas
tentang kemiripan puisi Karawang-Bekasi dengan The Dead Young Soldiers karya
Archibald MacLeish. Namun, Jassin tidak menyalahkan Chairil. Menurut dia,
meskipun mirip, tetap ada rasa Chairil di dalamnya. Sedangkan sajak MacLeish,
menurut Jassin, hanyalah katalisator penciptaan.
3.
Toto Sudarto
Bachtiar
Toto Sudarto Bachtiar (1929—2007)
Pengarang Toto Sudarto Bachtiar seorang penyair dasawarsa 1950-an yang
diperkenalkan pertama kali oleh H.B. Jassin dengan sajaknya "Ibu Kota
Senja". Dia lahir di Palimanan, Cirebon, 12 Oktober 1929 Selasa, 9 Oktober
2007 dan meninggal di rumah salah seorang familinya di Cisaga, Ciamis, Jawa
Barat. Toto meninggalkan seorang istri, Zainar (80), seorang putri, Sri Adila
Perikasih . Pendidikan yang ditempuhnya HIS di Banjar (Ciamis), Sekolah
Pertanian di Tasikmalaya, Mulo di Bandung, dan terakhir pernah kuliah di
Fakultas Hukum UI, Jakarta. Selain dikenal sebagai penyair yang kuat pada tahun
1950-an, Toto dikenal sebagai penerjemah yang baik. Penguasaannya terhadap
bahasa Belanda dan Inggris menjadi modalnya untuk berkenalan dengan sastra
dunia yang kemudian ia terjemahkan. Karya terjemahannya, antara lain, Pelacur
(drama, Jean Paul Sartre, 1954), Bayangan Memudar (1975) novel Breton de Nijs
yang diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa, Pertempuran Penghabisan (1976)
novel Ernest Hemingway, dan Sanyasi (1979) drama Rabindranath Tagore. Menurut
pengakuannya dalam wawancara tahun 2002 di Bandung, ia menunggu penerbit untuk
terjemahan karya Leo Tolstoy Perang dan Damai. Nama Toto juga sudah begitu
akrab di telinga anak-anak yang masih menginjak bangku sekolah dasar. Puisinya
sering muncul di buku-buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dan
musikalisasi puisi karyanya disebar ke sekolah-sekolah untuk apresiasi sastra.
Bahkan, pada 1987, penyanyi Ari Malibu dan Reda Gaudiamo menyanyikan dua lagu
yang digubah dari puisi karya Toto Sudarto Bachtiar ("Gadis
Peminta-minta") dan Goenawan Mohammad ("Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran
Lagi"). Kedua lagu itu dijadikan album mini berisi musikalisasi lima puisi
penyair terkenal Indonesia. Proyek Pekan Apresiasi Seni tersebut digarap A.G.S.
Arya Dipayana, yang diprakarsai Fuad Hassan (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
pada waktu itu) dan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Konon, album mini
tersebut kemudian disebarkan di sekolah-sekolah untuk apresiasi sastra.
"Konon lagi, disukai dan sukses," tutur Ari Malibu dalam blog Dunia
Ari Reda. Toto termasuk generasi penerus penyair Chairil pada dasawarsa 1950-an
bersama dengan Sitor Situmorang, Harijadi S. Hartowardoyo, yang disebut Subagio
Sastrowardoyo sebagai generasi Kisah. Dia menulis di majalah Siasat (dalam
lembaran Gelanggang), Pujangga Baru, Indonesia, Zenith, dan Mimbar Indonesia.
Dia pernah menjadi redaktur majalah AURI Angkasa. Kumpulan sajaknya yang telah
terbit adalah Suara (1956), yang memperoleh Hadiah Sastra BMKN tahun 1956.
Kumpulan sajaknya yang kedua Etsa (1958). Dengan sajak-sajaknya yang terkumpul
dalam kedua buku itu, Toto Sudarto Bachtiar digolongkan sebagai penyair yang
kuat pada dasawarsa 1950-an.
4.
W.S. Rendra
W.S.
Rendra yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di
Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6
Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia.
Sejak muda, dia menulis puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di
berbagai media massa. Pernah mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada,
dan dari perguruan tinggi itu pulalah dia menerima gelar Doktor Honoris Causa.
Penyair yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak", ini, tahun 1967
mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater itu, Rendra
melahirkan banyak seniman antara lain Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi
Kurdi, dan lain-lain. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan
politik, ia memindahkan Bengkel Teater di Depok, Oktober 1985.
Rendra
adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu
Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional;
sedangkan ibunya adalah penari serimpi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Masa
kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.
Pendidikan
TK Marsudirini, Yayasan Kanisius,
SD s.d. SMA Katolik, SMA Pangudi Luhur Santo Yosef, Solo (tamat pada tahun
1955), Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta, Mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art
(1964 - 1967).
Rendra sebagai sastrawan
Bakat sastra Rendra sudah mulai
terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan
kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek, dan drama untuk berbagai
kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas
panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca
puisi yang sangat berbakat.
Ia
pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah
Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai
majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat
Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada
dekade selanjutnya, terutama majalah tahun '60-an dan tahun '70-an.
Kaki
Palsu adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan Orang-orang di
Tikungan Jalan adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah
pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta.
Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat
bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya, Sastra Indonesia
Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern
Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti
Angkatan 45, Angkatan '60-an, atau Angkatan '70-an. Dari karya-karyanya
terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri
Karya-karya
Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak
karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa
Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.
Ia
juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The
Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki
International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival,
Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto
Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry
Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).
Bengkel Teater dan Bengkel Teater Rendra
Pada tahun 1967, sepulang dari
Amerika Serikat, ia mendirikan Bengkel Teater yang sangat terkenal di Indonesia
dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Namun sejak 1977
ia mendapat kesulitan untuk tampil di muka publik baik untuk mempertunjukkan
karya dramanya maupun membacakan puisinya. Kelompok teaternya pun tak pelak
sukar bertahan. Untuk menanggulangi ekonominya Rendra hijrah ke Jakarta, lalu
pindah ke Depok. Pada 1985, Rendra mendirikan Bengkel Teater Rendra yang masih
berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya..Bengkel
teater ini berdiri di atas lahan sekitar 3 hektar yang terdiri dari bangunan
tempat tinggal Rendra dan keluarga, serta bangunan sanggar untuk latihan drama
dan tari. Di lahan tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman yang dirawat secara
asri, sebagian besar berupa tanaman keras dan pohon buah yang sudah ada sejak
lahan tersebut dibeli, juga ditanami baru oleh Rendra sendiri serta pemberian
teman-temannya. Puluhan jenis pohon antara lain, jati, mahoni, eboni, bambu,
turi, mangga, rambutan, jengkol, tanjung, singkong, dan lain-lain.
Penghargaan
1. Hadiah
Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954)
2. Hadiah
Sastra Nasional BMKN (1956)
3. Anugerah
Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
4. Hadiah
Akademi Jakarta (1975)
5. Hadiah
Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
6. Penghargaan
Adam Malik (1989)
7. The
S.E.A. Write Award (1996)
8. Penghargaan
Achmad Bakri (2006).
Beberapa
karya
A.
Drama
§ Orang-orang
di Tikungan Jalan (1954)
§ Bib Bob
Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) - 1967
§ SEKDA
(1977)
§ Selamatan
Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 6 kali)
§ Mastodon
dan Burung Kondor (1972)
§ Hamlet
(terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan
dua kali
§ Macbeth
(terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
§ Oedipus
Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus
Rex")
§ Lysistrata
(terjemahan)
§ Odipus di
Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
§ Antigone
(terjemahan dari karya Sophokles,
§ Kasidah
Barzanji (dimainkan 2 kali)
§ Lingkaran
Kapur Putih
§ Panembahan
Reso (1986)
§ Kisah
Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)
§ Shalawat
Barzanji
§ Sobrat
B.
Kumpulan
Sajak/Puisi
a. Ballada
Orang-orang Tercinta (Kumpulan sajak)
b. Blues
untuk Bonnie
c. Empat
Kumpulan Sajak
d. Sajak-sajak
Sepatu Tua
e. Mencari
Bapak
f. Perjalanan
Bu Aminah
g. Nyanyian
Orang Urakan
h. Pamphleten
van een Dichter
i.
Potret Pembangunan Dalam Puisi
j.
Disebabkan Oleh Angin
k. Orang
Orang Rangkasbitung
l.
Rendra: Ballads and Blues Poem
m. State of
Emergency
n. Do'a
Untuk Anak-Cucu.
5.
Goenawan Mohamad
Goenawan
Soesatyo Mohamad ((lahir di Batang, 29 Juli 1941; umur 77 tahun) adalah seorang
sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo. Ia
merupakan adik Kartono Mohamad, seorang dokter yang menjabat sebagai ketua IDI.
Goenawan Mohamad adalah seorang
intelektual yang memiliki pandangan yang liberal dan terbuka. Seperti kata Romo
Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah
pemikiran monodimensional
Goenawan
Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo, ini pada masa mudanya
lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto
Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum.
Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi
penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas 6 SD, ia mengaku
menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian kakaknya yang dokter, ketika itu
berlangganan majalah Kisah asuhan H.B Jassin. Goenawan yang biasanya dipanggil
Goen, belajar psikologi di Universitas Indonesia, ilmu politik di Belgia, dan
menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah
dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.
Dunia jurnalistik
Karier GM—panggilan
singkatnya—dimulai dari redaktur Harian KAMI (1969-1970), redaktur Majalah
Horison (1969-1974), pemimpin redaksi Majalah Ekspres (1970-1971), pemimpin
redaksi Majalah Swasembada (1985).[2] Dan sejak 1971, Goenawan bersama
rekan-rekannya mendirikan majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung
karakter jurnalisme majalah Time. Di sana, ia banyak menulis kolom tentang
agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik
rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia.
Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah, sehingga
dihentikan penerbitannya pada 1994.
Goenawan Mohammad awalnya
berharap bisa membangkitkan Tempo lagi lewat PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia), di mana ia menjadi salah satu anggota. Setelah PWI yang terkooptasi
rezim Soeharto ternyata tak bisa diandalkan, Goenawan kemudian mendukung
inisiatif para jurnalis muda idealis yang mendirikan Aliansi Jurnalis
Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga
turut mendirikan Institusi Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja
mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. Ketika Majalah Tempo
kembali terbit setelah Soeharto diturunkan pada tahun 1998, berbagai perubahan
dilakukan seperti jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama
kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian Koran
Tempo.
Setelah terbit beberapa tahun,
Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta
Timur menghukum Goenawan Mohammad dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada
Tommy Winata. Pernyataan Goenawan Mohammad pada tanggal 12-13 Maret 2003
dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos Artha Graha itu.
Selepas jadi pemimpin redaksi
majalah Tempo dua periode (1971-1993 dan 1998-1999), Goenawan praktis berhenti
sebagai wartawan. Bersama musisi Tony Prabowo dan Jarrad Powel ia membuat
libretto untuk opera Kali (dimulai 1996, tetapi dalam revisi sampai 2003) dan
dengan Tony, The King’s Witch (1997-2000). Yang pertama dipentaskan di Seattle
(2000), yang kedua di New York. Pada tahun 2006, Pastoral, sebuah konser Tony
Prabowo dengan puisi Goenawan, dimainkan di Tokyo, 2006. Pada tahun ini juga ia
mengerjakan teks untuk drama-tari Kali-Yuga bersama koreografer Wayan Dibya dan
penari Ketut beserta Gamelan Sekar Jaya di Berkeley, California.
Dia juga ikut dalam seni
pertunjukan di dalam negeri. Dalam bahasa Indonesia dan Jawa, Goenawan menulis
teks untuk wayang kulit yang dimainkan Dalang Sudjiwo Tedjo, Wisanggeni, (1995)
dan Dalang Slamet Gundono, Alap-alapan Surtikanti (2002), dan drama-tari Panji
Sepuh koreografi Sulistio Tirtosudarmo.
Karya
sastra
Selama
kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya
yang sudah diterbitkan, di antaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan
Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan
Prancis. Sebagian esainya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai
Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980). Tetapi lebih dari itu,
tulisannya yang paling terkenal dan populer adalah Catatan Pinggir (Caping),
sebuah artikel pendek yang dimuat secara mingguan di halaman paling belakang
Majalah Tempo. Konsep dari Caping adalah sekadar sebuah komentar ataupun kritik
terhadap batang tubuh yang utama. Artinya, Caping mengambil posisi di tepi,
bukan posisi sentral. Sejak kemunculannya pada akhir tahun 1970-an, Catatan
Pinggir telah menjadi ekspresi oposisi terhadap pemikiran yang picik, fanatik,
dan kolot.
Catatan
Pinggir, esai pendeknya tiap minggu untuk Majalah Tempo, (kini terbit jilid
ke-6 dan ke-7) di antaranya terbit dalam terjemahan Inggris oleh Jennifer
Lindsay, dalam Sidelines (Lontar Foundation, 1994) dan Conversations with
Difference . Kritiknya diwarnai keyakinan Goenawan bahwa tak pernah ada yang
final dalam manusia. Kritik yang, meminjam satu bait dalam sajaknya, “dengan
raung yang tak terserap karang”.
Kumpulan
esainya berturut turut: Potret Seorang Peyair Muda Sebagai Malin Kundang
(1972), Seks, Sastra, Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah
Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).
Sajak-sajaknya
dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan
Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001). Terjemahan
sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak, terbit
dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).
Setelah
pembredelan Tempo pada 1994, ia mendirikan ISAI (Institut Studi Arus
Informasi), sebuah organisasi yang dibentuk bersama rekan-rekan dari Tempo dan
Aliansi Jurnalis Independen, serta sejumlah cendekiawan yang memperjuangkan
kebebasan ekspresi. Secara sembunyi-sembunyi, antara lain di Jalan Utan Kayu
68H, ISAI menerbitkan serangkaian media dan buku perlawanan terhadap Orde Baru.
Sebab itu di Utan Kayu 68H bertemu banyak elemen: aktivis pro-demokrasi,
seniman, dan cendekiawan, yang bekerja bahu membahu dalam perlawanan itu.
Dari
ikatan inilah lahir Teater Utan Kayu, Radio 68H, Galeri Lontar, Kedai Tempo,
Jaringan Islam Liberal, dan terakhir Sekolah Jurnalisme Penyiaran, yang
meskipun tak tergabung dalam satu badan, bersama-sama disebut “Komunitas Utan
Kayu”. Semuanya meneruskan cita-cita yang tumbuh dalam perlawanan terhadap
pemberangusan ekspresi. Goenawan Mohamad juga punya andil dalam pendirian Jaringan
Islam Liberal.
Tahun 2006, Goenawan dapat
anugerah sastra Dan David Prize, bersama esais dan pejuang kemerdekaan
Polandia, Adam Michnik, dan musikus Amerika, Yo-yo-Ma. Tahun 2005 ia bersama wartawan
Joesoef Ishak dapat Wertheim Award.
Karya terbaru Goenawan Mohamad
adalah buku berjudul Tuhan dan Hal Hal yang Tak Selesai (2007), berisi 99 esai
liris pendek. Edisi bahasa Inggrisnya berjudul On God and Other Unfinished
Things diterjemahkan oleh Laksmi Pamuntjak.
6.
Tia Setiadi
Tia
Setiadi adalah seorang penyair, penulis esai, editor dan penerjemah Indonesia.
Esai dan sajaknya telah diterbitkan oleh media terkemuka seperti Kompas, Jawa
Pos, Jurnas, Koran Tempo, Majalah Horison, Jurnal Sajak, Jurnal Kritik, Jurnal
Poetika, Jurnal Cipta, Jurnal Diskursus. Tia telah menerima penghargaan
nasional dan internasional untuk kumpulan esai dan puisinya, di antaranya
adalah Penghargaan Majalah Horison (2008), Penghargaan Dewan Kesenian Jakarta
(2007 dan 2009), Penghargaan Pena Emas (2012), dan Southeast Asia Literary
Council Award (2013) untuk kumpulan puisinya “Tangan yang Lain”, Penghargaan
Balai Bahasa Yogyakarta (2016) untuk kumpulan esai dan kritik “Petualangan Yang
Mustahil”. Tia juga dikenal sebagai editor puisi di basabasi.co dan penerjemah
dari banyak buku, di antaranya kumpulan puisi Pablo Neruda, kumpulan Esai Mario
Vargas Llosa, kumpulan cerpen dari Alice Munro, kumpulan puisi dan cerpen Edgar
Allan Poe, kumpulan puisi Rilke, kumpulan wawancara Noam Chomsky, kumpulan
puisi Octavio Paz. Sekarang ini Tia tinggal di Yogyakarta.
7.
Acep Zam Zam Noor
Acep Zam Zam Noor adalah
sastrawan yang lahir tanggal 28 Februari 1960. betikut ini biografi singkat
Acep Zam Zam Noor kecil sampai remaja menghabiskan waktunya di pondok
pesantren. Kepenyairannya lahir di Cipasung, tepatnya di Pondok Pesantren
Cipasung, Tasikmalaya. Karena dilahirkan dan dibesarkan di pondok
pesantren, nuansa keislaman dalam
karyanya sangat terasa. "Cipasung" adalah sebuah puisi yang ditulisnya.
Puisi itu menggambarkan keadaan desa yang tenang dan damai dengan nuansa islami
yang kental. Selain nuansa keislaman, nuansa Jawa Barat juga sangat terasa.
Beberapa puisinya ada yang ditulis
dengan menggunakan bahasa Sunda. Di Pondok Pesantren Cipasung pula, Acep
mendirikan komunitas sastra, yaitu Sanggar Sastra Tasik dan Komunitas Azan,
yang bergerak dalam pembinaan dan pemasyarakatan sastra, khususnya, dan
kesenian serta kebudayaan, pada umumnya.
Meskipun ayah Acep Zam Zam Noor seorang ulama Nahdlatul Ulama yang
terkenal di Pondok Pesantren Cipasung,
Acep tidak mengikuti jejak ayahnya. Dia lebih memilih jalur kesenian
sebagai jalan hidupnya.
Ketika
duduk di bangku SMP, bakat menulis Acep kian tampak. Pada awalnya, dia menulis
puisi dengan menggunakan bahasa Sunda. Selain itu, ia menulis puisi dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Puisi pertama yang ditulis kemudian dimuat dalam
media massa yang terbit di Bandung dan Jakarta. Bakat menulisnya terus
berkembang. Setelah menamatkan bangku SMA di Pondok Pesantren As-Syafi’iyah,
Jakarta, Acep melanjutkan sekolah di Bandung. Acep yang mengenyam kuliah di
Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB kian bersemangat untuk menulis. Acep tidak hanya menulis puisi, tetapi juga
melukis dan ikut aktif terlibat dalam klub diskusi kesenian. Setelah menamatkan
kuliah di Jurusan Seni Lukis, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi
Bandung (1980—1987), Acep tetap berkesenian. Tahun 1991—1993, Acep mendapat bea
siswa dari pemerintah Italia untuk belajar di Universitas Stranieri, Perugia,
Italia. Antara melukis dan menulis puisi bagi Acep merupakan satu kesatuan
dalam kehidupan yang tidak dapat dipisahkan. Di sela-sela kesibukan menulis
puisi dan mengikuti pameran di beberapa tempat, Acep juga sibuk membimbing
penulis muda untuk terus menulis di sanggarnya di Cipasung, Tasikmalaya.
Kegiatan
lainnya, selain menulis puisi dan mengikuti beberapa pameran, Acep juga menjadi pendamping delegasi Indonesia dalam
Bengkel Puisi Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) Jakarta tahun 1977. Tahun
2001 mengikuti Festival Puisi Internasional Winternachten Overzee di Teater
Utan Kayu, Jakarta, dan mengikuti acara
Southeast Asian Writers Meet di Kulala Lumpur tahun 2002, mengikuti Festival Puisi Internasional di
Makassar, dan mengikuti kegiatan di Den Haag, Belanda, tahun 2004.
Karya
Acep Zam Zam Noor:
1. Tamparlah Muka (1982)
2. Aku Kini Doa (1986)
3. Kasidah Sunyi (1989)
4. Dayeuh Matapoe (puisi Sunda,
1993)
5. Dari Kota Hujan (1996)
6. Di Luar Kota (1996)
7. Di Atas Umbria (1999)
8. Dongeng
dari Negeri Sembako (2001)
9. Jalan
Menuju Rumahku (2004)
Selain kumpulan puisi yang telah
diterbitkan, karya puisi Acep juga ada yang pernah dimuat dalam majalah sastra
dan jurnal, seperti majalah Horison, Kalam, Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi, Dewan Sastra Jurnal Puisi Melayu (Malaysia),
dan Perisa. Beberapa karya puisinya juga telah dimuat dalam beberapa antologi,
seperti:
1. Antologi Puisi Indonesia
Modern Tonggak IV (Gramedia, 1987)
2. Dari Negeri Poci II (Tiara,
1994)
3. Ketika Kata Ketika Warna
(Yayasan Ananda, 1995)
4. Takbir Para Penyair (Festival
Istiqal, 1995)
5. Negeri Bayang-Bayang (Festival
Surabaya, 1996)
6. Cermin Alam (Taman Budaya
Jabar, 1996)
7. Utan Kayu: Tafsir dalam
Permainan (Kalam, 1998)
8. Angkatan 2000 (Gramedia, 2001)
9. Dari Fansuri ke Handayani
(Horison, 2001)
10. Horison Sastra Indonesia
(Horison, 2002)
11. Napas Gunung (Dewan Kesenian
Jakarta, 2004)
Selain
karya puisi yang ditulisnya bertema religius dan sosial, Acep Zam Zam Noor juga
menulis puisi cinta yang romantis. Antologi puisinya yang berjudul Menjadi
Penyair Lagi (Penerbit Pustala Azan, 2007) mewakili tren “puisi romantis”.
Antologi ini dibagi dalam dua kelompok. Kelompok 1 berisis puisi lama
(1978—1989) yang menurut Acep “sempat
tercecer dan terlupakan” selama ini. Sebagian lagi berisi puisi barunya
(1990—2006). Puisinya juga telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang dimuat dalam The Poets Chant
(Jakarta, 1995), In Words in Colour (Jakarta, 1995), A Bonsai’s Morning (Bali,
1996), serta diterjemahkan oleh Harry Aveling untuk Secrets Need Words:
Indonesian Poetry 1996—1998 (Ohio University Press, 2001) dan diterjemahkan ke
dalam bahasa Belanda serta dimuat dalam Toekomstdromen (Amsterdam, 2004). Puisi
yang berbahasa Sunda juga sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ayip Rosidi dan Wendy Mukherjee
untuk Modern Sundanese Poetry: Voices from West Java (Pustaka Jaya, 2001) dan
dalam bahasa Prancis oleh Ayip Rosidi dan Henry Chambert Loir untuk Poemes
Soundanais: Antologie Bilingue (Pustaka Jaya, 2001).
Di samping menulis puisi, Acep
Zam Zam Noor sampai sekarang masih aktif dalam pameran lukisan, baik di dalam
maupun luar negeri, seperti di Singapura, Filipina, Belanda, dan Malaysia.
Penghargaan
1. Hadiah Sastra Lembaga Bahasa Jeung Sunda
untuk puisi Sunda pada tahun 1991 dan 1993
2. Nomine hadiah Rancange untuk
Dayeuh Matapoe tahun 1994
3. Penghargaan penulisan karya sastra dari Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, untuk karya Di Luar Kata tahun 2001
4. Penghargaan penulisan karya sastra dari Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, tahun 2005 untuk karya Jalan Menuju
Rumahmu
5. Penghargaan The Sea Write Awards tahun 2005 untuk karya
Jalan Menuju Rumahmu.
8.
Jan
Engelbert Tatengkeng
Jan
Engelbert Tatengkeng lahir:19 Oktober 1907 Kalongan, Sangihe, Sulawesi
Utara, Hindia Belanda. Beliau meninggal pada 6 Maret 1968 di usia ke 60 tahun,
di Ujung Padang Sulawesi Selatan . profesi beliau adalah seorang penyair
Jan Engelbert Tatengkeng disingkat dengan dengan J.E.Tatengkeng atau yang sering disapa dengan nama Oom Jan adalah penyair Indonesia Angkatan Pujangga Baru. Selain itu ia juga pernah menjabat Perdana menteri Negara Indonesia Timur. Ia merupakan satu-satunya penyair Kristen yang menampilkan sisi religi dalam karya-karyanya. Salah satu karyanya yang sangat terkenal adalah buku kumpulan puisi berjudul "Rindu Dendam" yang memuat 32 sajak hasil karyanya (1934).
J.E.Tatengkeng lahir di Kalongan, Sangihe, Sulawesi Utara, Hindia Belanda, 19 Oktober 1907. J.E. Tatengkeng berasal dari latar belakang keluarga Kristen yang taat. Ayahnya guru Injil dan kepala sekolah Zending. J.E. Tatengkeng menempuh pendidikan pertama kali di Zendingsvolksschool berbahasa Sangihe di Mitung. Sesudah itu ia melanjutkan ke HIS di Manganitu. Dari sana ia meneruskan ke Christelijk Middagkweekschool di Bandung, Jawa Barat, lalu Christelijk Hogere Kweekschool di Solo, Jawa Tengah.
Pada masa bersekolah ini, J.E. Tatengkeng mulai berkenalan dengan Tachtigers, suatu aliran kesusastraan Belanda yang disebut juga sebagai Angkatan 80-an. Aliran kesusastraan inilah yang kemudian banyak mempengaruhi sajak-sajaknya.
Karier
Selain sebagai penyair, J.E. Tatengkeng juga merupakan tokoh pendidikan dan negarawan. Sebagai tokoh pendidikan ia pernah menjadi guru bahasa Indonesia di Tahun tahun 1932, Kepala Schakelschool di Pulau Siau, Kepala Sekolah HIS di Tahuna, Menteri Muda urusan Pengajaran tahun 1948, dan terakhir Kepala Jawatan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan Kemendikbud perwakilan Sulawesi tahun 1951. Di Makassar, ia turut mengajar dan membidani lahirnya Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.
Sebagai negarawan, J.E. Tatengkeng pernah menjabat sebagai Perdana menteri Negara Indonesia Timur pada rentang tahun 1949-1950.
Karya
Puisi – Di Majalah Poedjangga Baroe
v Hasrat
Hati
v Anak
Kecil
v Laut
v Beethoven
v Petang
v en:Alice
Nahon
v O,
Bintang
v Gambaran
v Sinar
dan Bayang
v Katamu
Tuhan
v Sinar
di Balik
v en:Willem
Kloos
v Tangis
Puisi di majalah-majalah lain
1. Anak
Kecil
2. Penumpang
kelas 1
3. Gadis
Bali
4. Aku
Berjasa
5. Gua
Gajah
6. Cintaku
7. Ke
Balai
8. Mengheningkan
Cipta
9. Sekarang
Ini
10. Aku dan
Temanku
11. Sinar
dan Bayang
12. Kepada
Dewan Pertimbangan Kebudayaan
13. Aku
Dilukis
14. Sang
Pemimpin (Waktu) Kecil
15. Bertemu
Setan
Prosa
·
Datuk yang Ketularan
·
Kemeja Pancawarna
·
Prawira Pers Tukang Nyanyi
·
Saya Masuk Sekolah Belanda
·
Sepuluh Hari Aku Tak Mandi
Drama
v Lena (1958)
9.
Jassin
Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat
menjadi H.B. Jassin (lahir di Gorontalo , 31
Juli 1917 – meninggal di Jakarta, 11 Maret
2000 pada umur 82 tahun) adalah seorang penggarang , penyunting, dan kritikus sastra berkebangsaan
Indonesia. Tulisan-tulisannya digunakan
sebagai sumber referensi bagi pelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di kalangan sekolah dan perguruan tinggi dengan menggolongkan
angkatan sastra. Dia mendirikan Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin yang
kemudian mendapat bantuan gedung dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta di Taman
Ismail Marzuki . Karena kiprahnya di bidang kritik dan dokumentasi sastra,
dia dijuluki Paus Sastra Indonesia.
Ayahnya bernama Bague Mantu Jassin, seorang
kerani Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), dan ibunya bernama Habiba Jau.
Setelah menamatkan Gouverments HIS Gorontalo pada tahun 1932, Jassin melanjutkan ke HBS-B 5 tahun di Medan, dan tamat
akhir 1938. Tanggal 15
Agustus 1957, Jassin meraih gelar kesarjanaannya di Fakultas Sastra UI, dan
kemudian memperdalam pengetahuan mengenai ilmu perbandingan sastra Universitas
Yale, Amerika Serikat (1958-59).
Cerpen dan Puisi
Sebelum
sepenuhnya berkiprah di bidang kritik sastra, H.B. Jassin sempat menulis cerpen
dan puisi. Pada zaman kolonial karya-karyanya dimuat di Volksalmanak, Pandji
Poestaka, dan Poedjangga Baroe. Pada zaman pendudukan Jepang karya-karyanya
dimuat di Djawa Baroe. Setelah kemerdekaan, karya-karyanya dimuat di Merdeka
dan Pantja Raja. Menurut Sapardi Djoko Damono, setelah pertengahan 1940-an,
Jassin tampaknya tidak berminat lagi pada penulisan cerpen dan puisi.
Kritik Sastra
Kritik
sastra yang dikembangkan H.B. Jassin umumnya bersifat edukatif dan apresiatif,
serta lebih mementingkan kepekaan dan perasaan daripada teori ilmiah sastra.
Pada awal periode 1970-an, beberapa sastrawan beranggapan bahwa kritik sastra
H.B. Jassin bergaya konvensional, sedangkan pada saat itu telah mulai
bermunculan para sastrawan yang mengedepankan gaya eksperimental dalam karya-karya
mereka.
Kiprah
Jassin dalam kritik sastra turut membesarkan nama Chairil Anwar dalam kancah
sastra Indonesia. Dalam sebuah tulisan yang memperkenalkan puisi-puisi Chairil,
dia menunjukkan ekspresionisme dalam karya-karya tersebut. Selain itu, dia juga
menunjukkan letak pembaruan Chairil terhadap konvensi puisi pada masa itu.
Dalam tulisan pada zaman pendudukan Jepang itu, dia menyantumkan empat puisi
Chairil: "1943", "Hampa", "Sendiri", dan
"Selamat Tinggal”. Pada tahun 1956, ia membela Chairil Anwar yang
dituduh sebagai plagiat, melalui bukunya yang terkenal
berjudul Chairil Anwar Penyair Angkatan 45.
Karena
pengaruhnya dalam sastra Indonesia, pada tahun 1965, dalam suatu simposium
sastra, H.B. Jassin dijuluki sebagai Paus Sastra Indonesia oleh Gayus Siagian.
Terjemahan
Selain
menulis kritik sastra, Jassin juga banyak menerjemahkan. Salah satu karya
terjemahannya menuai kontroversi, yakni terjemahan Al Quran.
Kritik Sastra
Tifa
Penyair dan Daerahnya (1952)
Kesusasteraan
Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I-IV (1954, 1967; edisi baru, 1985)
Kisah:
Sorotan Cerita Pendek (1961)
Sastra
Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (1983)
Pengarang
Indonesia dan Dunianya (1983)
Sastra
Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993)
Koran dan
Sastra Indonesia (1994)
sebagai Editor
1) Gema Tanah Air (1948)
2) Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1948)
3) Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (1962)
4) Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (1963)
5) Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968)
6) Heboh Sastra 1968 (1970)
7) Polemik: Suatu Pembahasan Sastra dan
Kebebasan Mencipta Berhadapan dengan Undang-Undang dan Agama (1972)
Terjemahan
a) Chusingura karya Sakae Shioya (terjemahan
bersama Karim Halim) (1945)
b) Renungan Indonesia karya Sjahrazad (1947)
c) Terbang Malam karya A. de St. Exupery (1949)
d) Api Islam karya Syed Ameer Ali (1966)
e) Cerita Panji dalam Perbandingan karya Poerbatjaraka (terjemahan
bersama Zuber Usman) (1968)
f) Max Havelaar karya Multatuli (1972)
g) Cis karya Vincent Mahieu (1976)
h) Cuk karya Vincent Mahieu (1976)
i)
Pemberontakan
Gudalajara karya
J. Slauerhoff (1976)
j)
Al
Qur'anul'-karim - Bacaan Mulia (1978)
k) Teriakan Kakatua Putih: Pemberontakan
Patimura di Maluku karya
Joohan Fabricius (1980)
l)
Berita
Besar (1984)
m) Percakapan Erasmus karya Desiderius Erasmus (1985)
n) Multatuli yang Penuh Teka-Teki karya Willem Frederik Hermans (1988)
Karya Lainnya
A. Surat-Surat 1943-1983, kumpulan surat (1984)
B. Darah Laut: Kumpulan Cerpen dan Puisi (1997)
C. Omong-Omong H.B. Jassin (Perjalanan ke Amerika 1958-1959),
otobiografi (1997)
Penghargaan
Atas
jasa-jasanya di bidang kebudayaan, Jassin menerima Satyalencana Kebudayaan dari
Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969.
Tanggal 26
Januari 1973 Jassin menerima Hadiah Martinus Nijhoff dari Prins Bernhard Fonds
di Den Haag, Belanda. Hadiah ini diberikan untuk jasa Jassin menerjemahkan
karya Multatuli, Max Havelaar (Jakarta: Djambatan 1972).
Untuk
menghormati jasanya di bidang sastra Indonesia, tanggal 14 Juni 1975
Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepada Jassin.
Atas
jasa-jasanya di bidang kesenian dan kesusastraan, Jassin menerima Hadiah Seni
dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1983.
Pada tahun
1987 dia mendapatkan hadiah Magsaysay dari Yayasan Magsaysay, Filipina.
Pada tahun
1994 dia dianugerahi Bintang Mahaputera Nararaya oleh Pemerintah RI.
Wafat
H.B. Jassin
meninggal dunia pada hari Sabtu, 11 Maret 2000 di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo dalam usia 83 tahun. Ia meninggalkan empat anaknya yaitu
Hannibal Jassin, Mastinah Jassin, Julius Firdaus Jassin, Helena Magdalena
Jassin 10 orang cucu dan 1 orang cicit. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Nasional Kalibata, Jakarta.
10. Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji
Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, pada 24 Juni 1941. Ia adalah anak kelima dari
sepuluh orang bersaudara. Pada tahun 1982, ia menikah dengan seorang
gadis pilihannya bernama Maryam Linda.
Pendidikan
Sutardji memulai pendidikan dasarnya di SD, SMP, SMA dan kemudian melanjutkan ke Fakultas Sosial Politik (Sospol), Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran Bandung, namun tidak selesai. Selain menempuh jalur pendidikan formal, Sutardji juga telah mengikuti berbagai program pendidikan non-formal seperti: peserta Poetry Reading International di Rotterdam (tahun 1974) dan mengikuti International Writing Program di IOWA City Amerika Serikat selama satu tahun (tahun 1975). Ia juga pernah mengikuti penataran P4 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tahun 1984, dan lulus sebagai peringkat pertama dalam 10 terbaik.
Mulai menulis
Sutardji mulai menulis di media cetak sejak berumur 25 tahun. Pada tahun 1971, sajaknya berjudul “O” yang merupakan kumpulan puisinya yang pertama, muncul di majalah sastra. Pada tahun berikutnya, di majalah yang sama, karyanya berjudul “Amuk” kembali dimuat.
Sutardji Calzoum Bachri pernah bekerja sebagai redaktur di majalah sastra Horison dan majalah mingguan Fokus. Bahkan, sejumlah sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (tahun 1979).
Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
Pendidikan
Sutardji memulai pendidikan dasarnya di SD, SMP, SMA dan kemudian melanjutkan ke Fakultas Sosial Politik (Sospol), Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran Bandung, namun tidak selesai. Selain menempuh jalur pendidikan formal, Sutardji juga telah mengikuti berbagai program pendidikan non-formal seperti: peserta Poetry Reading International di Rotterdam (tahun 1974) dan mengikuti International Writing Program di IOWA City Amerika Serikat selama satu tahun (tahun 1975). Ia juga pernah mengikuti penataran P4 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tahun 1984, dan lulus sebagai peringkat pertama dalam 10 terbaik.
Mulai menulis
Sutardji mulai menulis di media cetak sejak berumur 25 tahun. Pada tahun 1971, sajaknya berjudul “O” yang merupakan kumpulan puisinya yang pertama, muncul di majalah sastra. Pada tahun berikutnya, di majalah yang sama, karyanya berjudul “Amuk” kembali dimuat.
Sutardji Calzoum Bachri pernah bekerja sebagai redaktur di majalah sastra Horison dan majalah mingguan Fokus. Bahkan, sejumlah sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (tahun 1979).
Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
Dari sajak-sajaknya itu Sutardji
memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena
konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan
dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.
Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.
Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam(Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.
O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.
Karya-karya
Kumpulan sajak:
Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.
Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam(Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.
O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.
Karya-karya
Kumpulan sajak:
·
O, diterbitkan oleh Yayasan Indonesia (tahun
1971)
·
Kucing, diterbitkan oleh Sinar Harapan (tahun 1973)
·
Amuk (tahun
1977)
·
O, Amuk, Kapak, antologi,
diterbitkan oleh Sinar Harapan (tahun 1981)
·
Aku Datang Padamu
·
Perjalanan Kubur David
Copperfield.
·
Realites’90 Tanah Air
Mata
Penghargaan
·
Anugerah Seni, dari Pemerintah Republik Indonesia
(tahun 1990)
·
Anugerah Seni atas karyanya berjudul Amuk, dari
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) (tahun 1977)
·
Anugerah Sastra Chairil Anwar (tahun 1998)
·
Anugerah Sastra Asia Tenggara (South East Asia Writer
Awards), dari Ratu Sirikit (tahun 1979).
·
Seniman Perdana, dari Dewan Kesenian Riau (tahun
2001).
·
Sebagai Pelopor Penyair Angkatan “70.”
11. Hasan Asphani
Hasan
Aspahani (lahir
di Handil Baru, Kalimantan Timur, 9 Maret 1971; umur 47 tahun), adalah seorang penyair Indonesia, yang berasal dari Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Bukunya Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering mendapatkan
penghargaan sebagai Buku Puisi Terbaik Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016.
Aspahani
lahir pada sebuah keluarga sederhana petani kelapa. Dia bersekolah di SMAN
2 Balikpapan, sambil bekerja sebagai kartunis lepas di Surat Kabar Manuntung
(Sekarang Surat Kabar Harian Kaltim
Post).
Setelah lulus SMA melanjutkan kuliah melalui jalur Penelusuran Minat dan Bakat
Keahlian (PMDK) di Institut Pertanian Bogor (IPB). Sambil kuliah dia terus menulis puisi.
Setelah
lulus dan menjadi sarjana pertanian, dia sempat bekerja di beberapa perusahaan.
Kemudian dia bekerja sebagai wartawan hingga menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi
di Surat Kabar Harian Batam
Pos. Istrinya bernama
Dhiana, yang biasa disapanya Na' dan dan dua orang anak, Shiela dan Ikra.
Beberapa
puisinya pernah terbit di Surat Kabar Jawa
Pos (Surabaya),
Surat kabar Riau Pos (Pekanbaru), Surat Kabar Batam Pos
(Batam), Sagang 2000 (Yayasan Sagang, Pekanbaru, 200) Antologi Puisi Digital
Cyberpuitika (YMS, Jakarta 2002), dan Dian
Sastro for
President 2 #Reloaded (AKY, Yogyakarta, 2003). Puisi Huruf-huruf Hattater
dipilih sebagai salah satu dari 10 puisi terbaik lomba puisi 100 Tahun Bung
Hatta (KPSP, Padang, 2002), dan Les Cyberletress (YMS, 2005). Hasan Aspahani
juga menjadi kartunis koran Pos
Metro Balikpapan yakni
sebuah kartun strip komik dengan tokoh utama "si Jeko" tukang ojek
dengan kelucuannya.
12. Umbu
Landu Paranggi
Umbu Landu Paranggi (lahir di Kananggar,
Paberiwai, Sumba Timur, 10 Agustus 1943; umur
75 tahun) adalah senimanberkebangsaan Indonesia yang
sering disebut sebagai tokoh misterius dalam dunia sastra Indonesia sejak 1960-an.
Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa esai dan puisi yang
dipublikasikan di berbagai media massa.
Umbu merupakan penyair sekaligus guru bagi para penyair muda pada zamannya,
antara lain Emha Ainun Nadjib, Eko Tunas, Linus Suryadi AG, dan lain-lain.
Pada tahun 1970-an Umbu membentuk Persada Studi Klub (PSK), sebuah
komunitas penyair, sastrawan, seniman yang
berpusat di Malioboro Yogyakarta. PSK, di
kemudian hari dikenal sebagai salah satu komunitas sastra yang sangat
mempengaruhi perjalanan sastrawan-sastrawan besar di Indonesia. Walaupun
dikenal sebagai "Presiden Malioboro", ia sendiri seperti menjauh dari
popularitas dan sorotan publik. Ia sering menggelandang sambil membawa kantung
plastik berisi kertas-kertas, yang tidak lain adalah naskah-naskah puisi
koleksinya. Orang-orang menyebutnya "pohon rindang" yang menaungi
bahkan telah membuahkan banyak sastrawan kelas atas, tetapi ia sendiri menyebut
dirinya sebagai "pupuk" saja. Umbu pernah dipercaya mengasuh rubrik
puisi dan sastra di Mingguan Pelopor Yogya. Hari tuanya dihabiskan
tinggal di Bali, sembari mengasuh
rubrik Apresiasi di Bali Post. “Kamu boleh mengidolakan seseorang,
tetapi jadilah dirimu sendiri".kutipan dari Umbu Landu Paranggi.
13. Suwarna
Pragolapati
Ragil
Suwarna Pragolapati (lahir di Pati, 22 Januari 1948 - menghilang di
Parangtritis, Yogyakarta, pada 15 Oktober 1990) adalah seorang sastrawan.Selain
dikenal sebagai seorang sastrawan ia dikenal sebagai dokumentator sastra yang
gigih, tekun, dan berdedikasi.
Ragil
Suwarna Pragolapati, terlahir dengan nama Warna, nama khas jawa, namun karena
sejak SD hingga SMA berprestasi, sehingga mendapakan tambahan nama-nama dari
guru-gurunya. Lulus SMA 1 PATI, Ragil Suwarna Pragolapati menjadi lulusan
terbaik di Kabupaten, sehingga setelah lulus SMA di Pati, hijrah ke Yogyakarta
karena mendapatkan failitas diterima di Universitas Gadjah Mada melalui jalur
prestasi, kemudian dipilhlah studi di Fakultas Ekonomi (1967-1971) dan Fakultas
sastra (1972) di (Universitas Gajah Mada) namun, keduanya tidak selesai karena terjadi
pergolakan mahasiswa.
Membangun budaya
Yogya lewat jalur seni, bersama Umbu Landu Parangggi, Imam Budhi Santosa, dan
Teguh Ranusastra Asmara dan yang lainnya, mendirikan Persada Studi Klub (PSK)
pada tanggal 5 Maret 1969.[2] Ia pernah ditahan (tanpa proses pengadilan) pada
awal Orde Barukarena melakukan demonstrasi. Ia pernah menjadi redaktur majalah
remaja Semangat dan Ketua Sindikat Pengarang Yogyakarta.[2] Ketika dia
meninggalkan, ia meninggalkan ribuan puisi, sejumlah novel, kumpulan cerita
pendek, esai, cerita anak-anak, dan karya dalam bahasa Jawa. Bahkan tulisannya
banyak dimuat dalam surat kabar , seperti : Horison, Basis, Kedaulatan Rakyat,
Eksponen, Minggu Pagi, Pelopor Yogya, Kawanku, Aktuil, Semangat, dan lain-lain.[2]
Karyanya yang sudah dibukukan adalah : Antologi Alit, Tiga Bayangan, Bulaksumur
Malioboro, Empat Penyair Yogya, Antologi Free, Titising Kedurakan, Keglandhang
Wirang, Melawan Hantu, Kuda Garang di Bumi Gersang, Penyair Tiga Generasi,
Jalan Berlumpur, Sidharta Gautama, Suaka Diri.[2] Seumur hidupnya setidaknya 60
karya telah diciptakan.
Ragil Suwarna
Pragolapati pernah mendapatkan penghargaan atas karyanya dari Menteri Keuangan
Radius Prawiro, juga menerima penghargaan seni dari Pemerintah Daerah Provinsi
Yogyakarta, melalui Gubernur Sri Sultan Hamengkuwono X.Ragil Suwarna
Pragolapati meninggalkan 2 anak dan 1 istri. Istri Menik Sugiyah Kartamulya,
anak pertama laki Ipan Pranashakti Khudi Iswara, anak kedua perempuan Ririen
Pranabuwani Khudi Iswari, keduanya sudah berhasil melanjutkan studi di
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
14. Imam
Budhi Santosa
Iman Budhi Santosa (lahir
di Magetan, Jawa Timur, 28 Maret 1948; umur
70 tahun), yang umumnya dikenal sebagai IBS, adalah seorang penulis
Indonesia yang berbasis di Yogyakarta.
IBS dididik dalam bidang pertanian namun mengembangkan kemampuan sastra dari
usia muda. Pada 1969, ia membantu pendirian Persada Studi Klub, kemudian
menerbitkan sejumlah karya, yakni kumpulan puisi, novel, dan cerita pendek.
Puisinya dianggap memiliki pengaruh budaya Jawa yang
kuat.
sebagai anak tunggal dari pasangan Iman
Sukandar dan Hartiyatim. Keluarganya tinggal di Kauman, Magetan, Jawa Timur,
sampai orangtua IBS bercerai ketika ia berusia 18 bulan. IBS tinggal dengan
ibunya dan kakeknya di Magetan. Ia kemudian menganggap masa kecilnya kurang
bahagia dengan menyatakan bahwa ibunya dan kakeknya – seorang mantan kepala
sekolah – menginginkan ia berfokus pada pembelajaran, ketimbang olahraga
seperti anak-anak lainnya. Akibatnya, ia menjadi teisolasi dari anak-anak
seusianya.
IBS menyelesaikan sekolah dasar pada 1960;
pada waktu itu, ibunya menikah lagi dengan penulis berbahasa Jawa Any Asmara.
Keluarganya melanjutkan hidup di Magetan sampai setelah IBS menyelesaikan
pendidikan sekolah menengah pertamanya, ketika mereka berpindah ke Yogyakarta.
Disana, ia belajar di sekolah vokal yang dijalankan oleh Yayasan Dana
Pendidikan Perkebunan Muja-Muju, lulus pada 1968
Berikut ini adalah daftar pustaka yang
berasal dari Santosa (2015b). Selain karya-karya sastra yang dimasukkan disini,
IBS juga menerbitkan buku-buku teks tentang pertanian dan budaya Jawa. Beberapa
karyanya dikompilasikan dalam antologi.
Tiga Bayangan (puisi
antologi; 1970)
·
Ranjang
Tiga Bunga (novel; 1975)
·
Bayang
Kertapati (novel; 1976)
·
Dunia
Semata Wayang (puisi; 1996)
·
Kalimantang
(kumpulan cerita pendek; 2003)
·
Matahari-Matahari
Kecil (puisi; 2004)
·
Perempuan
Panggung (novel; 2007)
·
Ziara
Tanah Jawa (puisi; 2013)
·
Sesanti
Tedhak Siti (geguritan; 2015)
Kutipan karya
·
"Iman Budi Santosa" (dalam bahasa Indonesian).
Language Center. 6 May 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal
6 February 2015. Diakses tanggal 3 June 2015.
·
Rampan, Korrie Layun (2000). Leksikon Susastra
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. ISBN 978-979-666-358-3.
·
Salam, Aprinus (2004). Oposisi Sastra Sufi (dalam
bahasa Indonesian). Yogyakarta: LKiS. ISBN 978-979-3381-64-0.
·
Santosa, Iman Budhi (2015a). Ziarah Tanah Jawa (dalam
bahasa Indonesian). Yogyakarta: Interlude. ISBN 978-602-71899-1-1.
·
Santosa, Iman Budhi (2015b). Sesanti Tedhak
Siti (dalam bahasa Javanese). Yogyakarta: Interlude. ISBN 978-602-71899-8-0.
·
Setiadi, Tia (July 2013). "Jawa, Juggernaut, dan
Alam Sebagai Tembang: Tentang Ziarah Tanah Jawa, Karya Iman Budhi
Santosa". Poetika. I (1): 96–106. ISSN 2338-5383.
·
Santoso, Joko (2013). "Dudu Sanak Dudu Kadang Yen
Mati Melu Kelangan". Dalam Suharmono; Anis Mashlihatin. Dialog:
Setahun Diskusi Puisi (dalam bahasa Indonesian). hlm. 35–41. ISBN 978-602-96825-2-6.
·
Sujatmiko, Tomi (1 June 2015). "Harus Kembali
Belajar Jadi Orang Jawa". Kedaulatan
Rakyat (dalam bahasa Indonesian). hlm. 1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4
June 2015. Diakses tanggal 3 June 2015.
15. Dorothea
Rosa Herliany
Dorothea Rosa Herliany ia lahir di Magelang,
Jawa Tengah, 20 Oktober 1963. Setelah tamat Sekolah Dasar Tarakanita Magelang,
Dorothea melanjutkan ke SMP Pendowo Magelang. Setelah itu, Dorothea melanjutkan
ke SMA Stella Duce Yogyakarta. Lulus dari SMA Dorothea meneruskan ke IKIP
Sanata Dharma Yogyakarta. Dorothea Rosa Herliany pernah menjadi wartawan dan
guru.
Ia juga pernah menghadiri pertemuan sastrawan
muda Asean di Filipina (1990) dan menjadi peserta dalam Festival Puisi
Indonesia Belanda di Jakarta dan Rotterdam, Negeri Belanda (1985). Sebagai
seorang penulis, Dorothea telah menulis sejak tahun 1985 di berbagai majalah
dan surat kabar, antara lain di Horison, Basis, Dewan Sastra (Malaysia), Suara
Pembaharuan, Mutiara, Pikiran Rakyat, Surabaya Post, Jawa Pos, Citra Yogya,
Kompas, Media Indonesia, Sarinah, Kalam, Republika, Pelita.
Sebagai seorang sastrawan, Dorothea
mempunyai peranan yang cukup penting. Hal itu terlihat dari karya-karyanya yang
hampir selalu mengutamakan tanggapan penulis lain. Korrie Layun Rampan
mengatakan bahwa Dorothea merupakan penyair yang sangat mengejutkan karena
produktivitasnya yang luar biasa.
Hampir semua media masa yang
memiliki ruang sajak selalu memuat sajaknya. Begitu pula cerita pendek, esai,
dan laporan budaya yang ditulisnya cukup menunjukkan bahwa ia memiliki
kemampuan lain di luar dunia sajak. Wawasannya yang cukup luas dan visi
kepenyairannya yang mantap telah mengukuhkan dirinya sebagai penyair yang
mempunyai masa depan yang cerah. Beberapa puisinya mengandung suatu gerak
hidup, percikan api yang berpijar, tetapi dalam pengucapannya terasa dingin dan
asosiasinya yang begitu cepat bersilangan membawa imajinasi berpacu untuk
mengejar makna imajinatif. Sebagai puisi imagis, sajak-sajak Dorothea
menunjukkan sifat lirik yang khas, yaitu lirik prosa.
Ia mendirikan Forum Ritus Kata dan
menerbitkan berkala budaya Kolong Budaya. Pernah pula membantu harian Sinar
Harapan dan majalah Prospek di Jakarta. Kini ia mengelola penerbit Tera di
Magelang.
Karya
A.
Kumpulan
sajak:
1.
Nyanyian
Gaduh (1987)
2.
Matahari
yang Mengalir (1990)
3.
Kepompong
Sunyi (1993)
4.
Nikah
Ilalang (1995)
5.
Mimpi
Gugur Daun Zaitun (1999)
6.
Kill
the Radio (Sebuah Radio, Kumatikan; edisi dwibahasa, 2001)
B.
Kumpulan
cerpen:
·
Blencong
(1995)
·
Karikatur
(1996).
·
Sepotong
Cinta (1996)
Penghargaan:
a.
Pemenang
I penulis puisi Chairil Anwar di IKIP Sanata Dharma tahun 1981
b.
Pemenang
I penulisan puisi Dies Natalis IKIP Sanata Dharma tahun 1985
c.
Pemenang
I penulisan puisi di Institut Filsafat dan Theologia (IFT) Yogyakarta tahun
1985
d.
Pemenang
I penulisan esai tahun 1986, Minister of Environment Award for best environment
tahun 1994
e.
Penghargaan
kesusastraan dari Asosiasi Wartawan Jawa Tengah Indonesia tahun 1995
f.
Pemenang
II sayembara kumpulan puisi terbaik PKJ TIM tahun 1998
g.
Puisi
terbaik “Mimpi Gugur Daun Zaitun” dari Dewan Kesenian Jakarta tahun 2000
h.
Nominator
The Khatulistiwa Literary Award sajak “Kill The Radio” tahun 2003
i.
Penulis
terbaik dari Pusat Bahasa Indonesia tahun 2003
j.
Penghargaan
seni dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI tahun 2004
k.
The
Khatulistiwa Literary Award karya “Santa Rosa” tahun 2006.
16. Agus
Noor
Agus
Noor (lahir di Tegal, Jawa Tengah, 26 Juni 1968; umur 50 tahun) adalah
sastrawan berkebangsaan Indonesia. Agus Sejak muda, Agus Noor telah
berkecimpung di dunia sastra dengan menulis karya-karya puisi dan prosa. Dia
merupakan penulis naskah untuk program Sentilan Sentilun Metro TV yang diadopsi
dari naskah monolognya, Matinya Sang Kritikus, yang sebelumnya telah
dipentaskan di sejumlah kota oleh Butet Kertaradjasa.
Agus
Noor lahir dan dibesarkan di Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal. Berlatar
belakang pendidikan Jurusan Teater, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta.
Meskipun berlatar belakang pendidikan teater, ia aktif menulis. Dia dikenal
sebagai cerpenis, penulis prosa, dan naskah panggung dengan gaya parodi yang
terkadang satir. Monolog Matinya Toekang Kritik adalah salah satu karyanya yang
menertawakan keadaan Indonesia. Naskah ini, kemudian diusung sebagai program
Sentilan Sentilun yang ditayangkan oleh stasiun televisi Metro TV.[3]
Karya
Bersama Ayu Utami, ia
menulis naskah Sidang Susila untuk merefleksikan dan mengkritik
Rancangan Undang Undang Anti-Pornografi. Selain menulis prosa, ia juga menulis cerpen. Karya
cerpennya dimuat dalam Antologi Ambang (1992), Pagelaran (1993), Lukisan
Matahari (1994). Sedangkan cerpen-cerpennya yang terhimpun dalam
antologi bersama, di antaranya Lampor (Cerpen Pilihan Kompas,
1994), Jalan Asmaradana (Cerpen Pilihan Kompas, 2005), Kitab
Cerpen Horison Sastra Indonesia (Majalah Horison dan The Ford
Foundation, 2002), dan Dari Pemburu ke Tapuetik (Majelis
Sastra Asia Tenggara dan Pusat Bahasa, 2005)
Buku-buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit antara
lain, Memorabilia (Yayasan untuk Indonesia, 1999), Bapak
Presiden yang Terhormat (Pustaka Pelajar, 2000), Selingkuh Itu
Indah (Galang Press, 2001), Rendezvous: Kisah Cinta yang Tak
Setia (Galang Press, 2004), Potongan Cerita di Kartu Pos (Penerbit
Buku Kompas, 2006), Sebungkus Nasi dari Tuhan, Sepasang Mata Penari
Telanjang, Matinya Toekang Kritik (Lamalera, 2006), Sepotong
Bibir Paling Indah di Dunia (Bentang, 2010), Cerita Buat Para
Kekasih (Gramedia Pustaka Utama, 2015). Cerpen-cerpennya pernah
dimasukkan oleh Korie Layun Rampan sebagai sastrawan angkatan 2000. Buku
terbaru yang disusun berjudul Cerpen-cerpen Terbaik Indonesia,
merangkum tentang penerbitan cerpen dari Idrus hingga Seno Gumira Ajidarma.
Penghargaan
·
Cerpenis terbaik pada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) IV (1992)
·
Anugerah Cerpen Indonesia yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta untuk
tiga cerpennya, Keluarga Bahagia, Dzikir Sebutir Peluru, dan Tak
Ada Mawar di Jalan Raya(1999)
·
Karya terbaik Majalan Horison selama kurun waktu 1990-2000
·
Anugerah Seni dari Mentri Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpennya, Piknik (2006)
17. Agus R.
Sarjono
Agus R. Sarjono (lahir di
Bandung, Jawa Barat, 27 Juli 1962; umur 56 tahun) adalah sastrawan
berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal sebagai penyair, novelis, dan penulis
esai sastra yang dimuat di berbagai media massa. Agus telah mementas karya-karyanya
di berbagai negara.
Pada 1988, Ia lulus dari
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
(FPBS), IKIP Bandung, kemudian menyelesaikan program pasca sarjana di Jurusan
Kajian Sastra, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Indonesia pada 2002[1].
Agus adalah Ketua Bidang Program Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode
2003-2006. Sebelumnya ia adalah Ketua Komite Sastra DKJ periode 1998-2001.
Sehari-harinya Agus bekerja sebagai pengajar pada Jurusan Teater Sekolah Tinggi
Seni Indonesia (STSI), Bandung, serta menjadi redaktur Majalah Sastra
Horison.
Pada Februari hingga Oktober
2001, Agus tinggal di Leiden, Belanda sebagai poet in residence atas undangan
Poets of All Nations (PAN) serta peneliti tamu pada International Institute for
Asian Studies (IIAS)[2], Universitas Leiden. Ia juga pernah diundang sebagai
penyair tamu di Heinrich Böll Haus, Langenbroich, Jerman sejak Desember 2002
hingga Maret 2003. Selain menulis dan menerbitkan karyanya sendiri, Agus
bersama Berthold Damshäuser menjadi editor beberapa buku kumpulan puisi
sastrawan besar Jerman seperti Rilke, Bertolt Brecht, Paul Celan, Johann
Wolfgang von Goethe, dan Hans Magnus Enzensberger[3].
Semasa kuliahnya di IKIP
Bandung, Agus terlibat aktif dalam kelompok diskusi Diskusi Lingkar yang
mendiskusikan berbagai isu sosial, politik, budaya, dan ekonomi pada masa Orde
Baru. Pada tahun 1987 Agus terlibat dalam pendirian Unit Pers Mahasiswa IKIP
Bandung sekaligus menjadi Ketua Umum hingga tahun 1989.
Karya
A.
Puisi
Kenduri Airmata (1994, 1996)
i.
A Story from the Country of the Wind (edisi Bahasa
Inggris, 1999, 2001)
ii.
Suatu Cerita dari Negeri Angin (2001, 2003)
iii.
Frische Knochen aus Banyuwangi (edisi Bahasa Jerman,
diterjemahkan oleh Berthold Damshäuser dan Inge Dumpél, 2003)
iv.
Diterbangkan Kata-kata (2006)
v.
Kopi, Kretek, Cinta (2013)
B. Antologi Puisi
v Tangan
Besi, Antologi Puisi Reformasi (1998)
b. Esai
·
Bahasa dan Bonafiditas Hantu (2001)
·
Sastra dalam Empat Orba (2001)
C . Drama
Ø Atas Nama
Cinta (2004)
Sebagai Editor
ü Saini KM:
Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993)
ü Catatan
Seni (1996)
ü Kapita
Selekta Teater (1996)
ü Pembebasan
Budaya-budaya Kita (1999)
ü Dari
Fansuri ke Handayani (2001)
ü Horison
Sastra Indonesia 1-4 (2002), Horison Esai Indonesia 1-2 (2003)
ü Rilke:
Padamkan Mataku (Kumpulan Puisi, 2003)
ü Bertolt
Brecht: Zaman Buruk Bagi Puisi (Kumpulan Puisi, 2004)
ü Malam
Sutra: Sitor Situmorang (2004)
ü Paul
Celan: Candu dan Ingatan (Kumpulan Puisi, 2005)
ü Teater
tanpa Masa Silam (2005)
ü Poetry
and Sincerity (2006)
ü Johann
Wolfgang von Goethe: Satu dan Segalanya (Kumpulan Puisi, 2007)
ü Hans
Magnus Enzensberger: Coret Yang Tidak Perlu (Kumpulan Puisi, 2009)
ü Friedrich
Nietzsche: Syahwat Keabadian (Kumpulan Puisi, 2010)
Pencapaian
- Asean
Writers Conference, Manila (1995)
- Istiqlal
International Poetry Reading, Jakarta (1995)
- Ipoh
Arts Festival III, Negeri Perak, Malaysia (1998)
- The
Netherlands-Indonesian Poetry Night di Erasmus Huis, Jakarta (1998)
- Festival
de Winternachten", Den Haag (1999 and 2005)
- Poetry
on the Road", Bremen (2001)
- Internationales
Literaturfestival Berlin (2001)
- The
Dubai International Poetry Festival (2009)
18. Tjahjono Widijanto.
Tjahjono
Widijanto lahir di Ngawi, 18 April 1969.
Pendidikan terakhir Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. IKIP Negeri
Malang (sekarang Universitas Negeri Malang).Dia Profesi sebagai Sastrawan
(Penyair/esais)
Prestasi/Pengalaman : 1) Pemenang Pertama (2) Lomba
Mengulas karya
Sastra Tingkat Nasional Tahun 2002 yang diadakan oleh
Majalah Sastra Horison, Depdiknas dan Ford Foundantion. Dengan judul makalah:
Estetika Bahasa dan Kosmologi Jawa dalam Asmaradana karya Goenawan Mohamad
2) Pemenang Kedua (II) Sayembara Kritik Sastra
Nasional Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2005. Dengan judul makalah: “Cala
Ibi”: Novel Kontemplatif Meditatif Sufistik dari Pulau Ternate.
3) Pada tahun 1996 diundang Dewan Kesenian Jakarta
untuk membacakan karya (puisi) pada acara Mimbar Penyair Abad 21 di Taman
Ismail Marzuki Jakarta
4) Pada tahun 2004 untuk kedua kalinya
diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan karya di Taman Ismail Marzuki
(TIM) dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia 2005.
5) Pada tahun 2005 kembali diundang Dewan
Kesenian Jakarta untuk mengikuti Simposium Kritik Seni sekaligus menerima
penghargaan sebagai Pemenang Kedua Sayambara Kritik Sastra Nasional yang
diadakan DKJ.
Pemenang kedua (II) Lomba Mengulas Karya Sastra th.
2005 (Depdiknas dan majalah Horison) dengan judul makalah: Konsep-konsep Spritualisme
Timur Dalam Kumpulan Cerpen Godlog karya Danarto.
Salah satu finalis Lomba Lingkungan Hidup
(PKLH) tingkat Nasional th. 2005 di Jakarta dengan judul makalah: “Membangun
Kota Berwawaskan Humanisme Ekologis”
Salah satu cerita pendeknya berjudul “Coro”
menjadi salah satu nominasi LMCP (Lomba Menulis Cerita Pendek) 2003, yang
diadakan oleh Horison dan Depdiknas.
Pada tahun 1996 dinobatkan sebagai salah satu
Penyair Pilihan Jawa Timur versi Bengkel Muda Surabaya.
Aktivitas dan Produktivitas : Menulis puisi, eseai,
dan cerpen di berbagai Jurnal, Majalah dan Koran di luar negeri dan di dalam
negeri. Antara lain: Jurnal PERISA Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, Bahana
(Brunei Darusasalam),Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi, Jurnal Perempuan, Majalah
sastra HORISON, Kompas, Media Indonesia, Matra Suara Pembaruan, Matra, Suara
Karya, Jawa Pos, Surabaya Pos ,Surya, Lampung Pos, Bali Pos, dll.
-Pada tahun 1988 Mendirikan Majalah Kebudayaan IKLIM
yang terbit di Malang
sekaligus menjadi salah satu Redakturnya (1989-1990).
-Aktif berteater bersama teater Ideot Malang dari th.
1987-1994
-Ikut memprakarsai berdirinya Majalah Kebudayaan
Kalimas Surabaya dan menjadi salah satu Redakturnya (1992-1994)
-Ikut mendirikan majalah
kebudayaan Lontar di Ngawi sekaligus menjadi salah satu redakturnya
(1996-2004).
-Ikut mendirikan Studi Lingkar Sastra Tanah Kapur
Ngawi, dan aktif sebagai penggeraknya hingga sekarang (1995-sekarang)
Menjadi pendiri dan ketua kelompok teater Zat Ngawi
(1998-sekarang).
Buku-buku yang dihasilkan : Puisi Tak Pernah Pergi
(Kompas, 2003), Angkatan 2000 Dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2000), Ekstase
Jemari (1995,: antologi tunggal), Dunia Tanpa Alamat (DKJT, 2003—antologi
tunggal). Birahi Hujan (Dewan Kesenian Jakarta dan Logung Pustaka, 2004),
Mimbar Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, Jakarta 1996), Bapaku Telah Pergi:
Antalogi Penyair Pilihan jawa Timur (Surabaya, 1995), Akulah Ranting (Dioma,
Malang 1996), Antologi Cerpen dan Puisi Indonesia Modern: Gerbang (Pustaka
Pelajar, Jogyakarta 1997), Memo Putih (DKJT, 2000), Keajaiban Bulan Ungu (DKS,
2000), Apa kabar Sastra? (Kumpulan Eseai, DKJT, 2002). Tegak Lurus dengan
Langit (Kumpulan artikel Pemenang Lomba Mengulas karya sastra Nasional, 2002),
Dunia Bayang-bayang (Surabaya, 1995), Antologi Sastra Kepulauan (DKSS: 1999),
dll.
19. Avianti Armand
Avianti Armand (lahir di Jakarta, 12 Juli
1969; umur 49 tahun) adalah seniman berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal
melalui sejumlah karyanya berupa puisi yang dipublikasikan di beberapa media
massa. Selain menulis, dia juga berprofesi sebagai arsitek dan dosen tamu di
Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia dan Disain Interior, Fakultas Disain
Interior Universitas Pelita Harapan. Avianti Armand merupakan salah satu
penerima Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori Puisi melalui
karyanya, Perempuan yang Dihapus Namanya, pada tahun 2011.
Sejak
usia muda, dia sudah mengakrabi dunia kesenian dengan menulis karya sastra
berupa puisi yang dipublikasikan di berbagai media massa. Selain menulis,
Avianti Armand juga berprofesi sebagai arsitek sejak tahun 1992. Disain rumah
tinggalnya, bahkan memenangi Penghargaan IAI (Ikatan Arsitek Indonesia), pada
tahun 2008. Pada tahun 2010 dia menggagas bengkel kerja dan pameran arsitektur
dan kota bertajuk Ruang Tinggal Dalam Kota yang diselenggarakan di Komunitas
Salihara. Tahun itu pula dia ditunjuk sebagai kurator Pameran Arsitek Muda
Indonesia. Di tahun 2015, Avianti Armand mengetuai Komite Desain di pameran
buku internasional Frankfurt.
Sejak tahun 2008, produktivitas Avianti di dunia
tulis-menulis semakin meningkat dengan menulis fiksi, puisi, dan artikel
mengenai arsitektur. Kumpulan cerita pendeknya yang pertama, terbit tahun 1999
dengan judul Negeri Para Peri. Salah satu cerita dalam buku tersebut memenangi
Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas pada tahun 2009. Kumpulan puisinya yang
berlatar belakang kitab suci Perjanjian Lama berjudul Perempuan yang Dihapus
Namanya, terbit tahun 2010 dan memenangi Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa
untuk kategori Puisi, bersama Arafat Nur melalui karyanya, Lampuki (fiksi) dan
Nirwan Dewanto melalui karyanya, Buli-Buli Lima Kaki (puisi), pada tahun 2011.
20. Paul Klee
Paul Klee (pengucapan dalam
bahasa Jerman, lahir 18 Desember 1879 – meninggal 29 Juni 1940) adalah seorag
seniman lukis yang lahir di Münchenbuchsee,Switzerland yang merupakan daerah
Swiss German.Gaya seni lukisnya sangat dipengaruhi gerakan gaya lukis
ekspresionisme, kubisme, dan surealisme. Dia juga belajar seni lukis aliran
orientalisme. Klee merupakan pelukis yang senantiasa bereksperimen dan
mendalami teori warna, dan secara ekstensif menulis banyak mengenai teori
tersebut.Buku teorinya yang berjudul Writings on Form and Design Theory
(Schriften zur Form und Gestaltungslehre), diterbitkan dalam bahasa Inggris
dengan judul Paul Klee Notebooks, adalah sebuah buku acuan seni modern yang
setara dengan A Treatise on Painting karya Leonardo da Vinci.Dia dan rekanya,
ahli seni lukis Rusia Wassily Kandinsky, belajar di sekoleh seni, desain, dan
arsitektur Jerman Bauhaus.[2] Karyanya merefleksikan gaya lawakannya dan
terkadang mengandung perspektif kekanakan, pandangan dan kepercayaan pribadi,
dan juga gaya musikalitasnya.
Karya terkenal
·
lebih dari 10,000 lukisan, gambar, and sketsa,
termasuk
·
Twittering
Machine (1922),
·
Fish Magic (1925),
·
Viaducts Break Ranks (1937).